Oleh : Dr. Suhardin, S.Ag., M.Pd., Sekretaris LDK PP Muhammadiyah
LDKMUH.OR.ID – Pengendalian perubahan iklim, berangkat dari kesadaran diri yang terdalam, pada masing-masing individu, untuk tidak melakukan perbuatan yang berdampak terhadap pemanasan global (global warming).
Di antara perbuatan yang berdampak terhadap global warming; pertama, sampah, limbah industri dan limbah rumah tangga, menghasilkan gas metana, karbondioksida (CO2), yang berkontribusi terhadap Gas Rumah Kaca (GRK).
Sampah permasalahan dunia yang sangat berat, diantaranya sampah plastik, telah banyak mengotori laut, sehingga dimakan ikan, mengakibatkan ikan terkena limbah micro plastic, dimakan lagi oleh manusia, berdampak terhadap kesehatan, iritasi dan peradangan lokal, mengganggu fungsi normal sel dan organ tubuh manusia.
Demikian juga sampah dalam bentuk sisa makanan (food waste), baik dari berbagai jenis restoran, rumah makan dan limbah rumah tangga, banyak dibuang ke tempat pembuangan akhir, yang memberikan konstribusi gas metana (CH4), berkontribusi terhadap pemanasan global sekitar 25 kali lebih tinggi daripada karbon dioksida (CO₂) dalam jangka waktu 100 tahun.
Kedua, pembakaran hutan, lahan gambut dan mangrove. Hutan (forest), lahan gambut dan mangrove, adalah penyerap karbon yang sangat efektif.
Karbon yang dihasilkan oleh aktifitas manusia, bernapas, pembakaran, kendaraan bermotor, pabrik dan aktifitas rumah tangga, diserap oleh hijau daun melalui proses fotosintesis, dan hijau daun menghasilkan oksigen (oxygen) yang diperlukan oleh manusia dalam melangsungkan kehidupan.
Jika hutan, mangrove dan gambut terbakar, maka ia menghasilkan karbondioksida dalam bentuk polutan ke atmosfier dan menghasilkan gas rumah kaca yang sangat berkontribusi terhadap pemanasan global.
Ketiga, polusi udara yang dihasilkan oleh kegiatan pabrikasi. Banyak pabrik menggunakan bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas alam untuk menghasilkan energi.
Pembakaran bahan bakar ini melepaskan Carbon Dioxide (CO₂) ke atmosfer, yang berkontribusi signifikan terhadap pemanasan global.
Beberapa proses industri, seperti produksi baja dan semen, dapat melepaskan metana menjadi Gas Rumah Kaca yang lebih kuat daripada Carbon Dioxide (CO₂) dalam hal potensial pemanasan global.
Pabrik yang menggunakan batubara dan minyak sering kali melepaskan Sulfur Dioxide (SO₂) selama pembakaran. Sulfur Dioxide (SO₂) adalah gas berbahaya yang dapat menyebabkan iritasi saluran pernapasan dan berkontribusi pada pembentukan hujan asam.
Keempat, bahan bakar fosil yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor. Sarana transportasi pada umumnya menggunakan bahan bakar fosil; pertalite, pertamak, dex, solar, semuanya adalah bahan bakar yang menghasilkan Carbon Dioxide (CO₂) yang berpolutan di atmosfier dan berdampak terhadap Gas Rumah Kaca (GRK), yang dirasakan menjadi pemanasan global.
Bahan bakar fosil, termasuk batu bara, minyak, dan gas alam, memainkan peran utama dalam menghasilkan gas rumah kaca (GRK) yang berkontribusi terhadap pemanasan global.
Berbagai pertemuan dunia dalam penyelamatan bumi dan perubahan iklim, diantaranya; Konferensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC COP), Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), United Nations Environment Programme (UNEP), Forum Ekonomi Dunia (WEF), Group of Twenty (G20), Group of Seven (G7), International Renewable Energy Agency (IRENA), Climate Action Network (CAN), World Wildlife Fund (WWF), Green Climate Fund (GCF).
Forum-forum ini memainkan peran penting dalam membentuk kebijakan global, mempromosikan tindakan iklim yang ambisius, dan mendukung transisi menuju ekonomi rendah karbon.
Berbagai lembaga usaha dihimbau dan diberikan penghargaan dalam mengembangkan managemen industri yang berorientasi pada green energy (energi hijau), energi rendah karbon.
Sebaliknya lembaga-lembaga usaha yang menghasilkan karbon dipinta untuk memberikan pajak karbon (carbon tax). Pajak karbon adalah alat kebijakan yang efektif untuk mengurangi emisi GRK dengan memberikan insentif ekonomi untuk mengurangi konsumsi bahan bakar fosil dan beralih ke energi bersih.
Pajak karbon ini dirancang untuk mendorong perusahaan dan individu mengurangi konsumsi bahan bakar fosil dan beralih ke sumber energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Pemerintah menetapkan harga tertentu per ton CO₂ yang dilepaskan ke atmosfer. Harga ini bisa berbeda-beda di setiap negara atau wilayah.
Pajak dikumpulkan dari perusahaan yang memproduksi atau mengonsumsi bahan bakar fosil, seperti perusahaan listrik, pabrik, dan sektor transportasi. Pendapatan dari pajak karbon dapat digunakan untuk mendanai proyek-proyek hijau, seperti energi terbarukan, konservasi energi, dan program adaptasi iklim.
Sebagian pendapatan dari pajak karbon dapat digunakan untuk mengurangi pajak lain, seperti pajak penghasilan, yang dapat membantu mengurangi beban ekonomi pada rumah tangga dan bisnis.
Kesadaran diri, komunitas, lembaga, negara dan dunia atas keprihatinan yang dirasakan bumi, berangkat dari moralitas, kecendrungan untuk membela hal-hal yang bernilai kebaikan, dan menolak hal-hal yang membawa kepada kehancuran kolektif.
Kecendrungan kebaikan itu ada pada masing-masing diri manusia, yang mempunyai nurani. Nurani yang hidup senantiasa memancarkan nilai-nailai kebaikan.
Kebaikan itu bersifat universalitas, kebaikan terhadap kemanusiaan, kebaikan terhadap ekologis, kebaikan terhadap sosial interaktif, kebaikan terhadap diri pribadi dan pribadi orang lain dalam bentuk simpati, empati dan philantropy.
Altruisme moral sering kali dikaitkan dengan tindakan yang dilakukan tanpa pamrih untuk membantu orang lain, meskipun tindakan tersebut mungkin tidak memberikan keuntungan atau bahkan merugikan pelaku.
Konsep ini penting dalam etika dan filsafat moral, serta berperan dalam berbagai tradisi agama dan budaya. Moral altruism inilah yang harus dipegang dalam hal menyikapi kompleksitas permasalahan lingkungan, yang dirasakan sekarang dalam bentuk pemanasan global dengan sistematika dampaknya dalam kehidupan.
Tanggungjawab besar tentu perlu dituntut kepada beberapa lembaga usaha yang sudah terbukti melakukan environment destruction (kerusakan lingkungan), forest destruction (pengrusakan hutan), peatland destruction, (pengrusakan lahan gambut), mangrove destruction (pengrusakan bakau), air pollution (polusi udara), carbon emitter (penyebar emisi karbon).
Negara memiliki kuasa untuk menagih carbon tax (pajak karbon) terhadap pelaku-pelaku di atas untuk dapat dialokasikan kepada; pertama, para penggiat dan pekerja serta pejuang lingkungan yang senantiasa melakukan rehabilitas hutan dan lahan yang telah gundul, untuk dapat menyerap karbon, membersihkan udara dan menyamankan segenap penghuni lingkungan.
Kedua, kepada para innvato, yang sudah bekerja menciptakan berbagai produk yang ramah lingkungan, green energy, energi hijau terbarukan, listrik dengan panel surya.
Ketiga, kepada segenap relawan yang memiliki kepedulian terhadap biodiversity, berusaha untuk mengembalikan satwa yang sudah dikrangkeng oleh para pihak yang tidak memiliki empati dan simpati.
Keempat, komunitas sosial peduli gambut dan rehabilitas mangrove, yang tengah berusaha, berjuang untuk memulihkan kembali lahan-lahan gambut yang sudah terbakar dan sudah dilakukan alih pungsi.
Demikian juga mangrove yang sudah bajak di babat dan di alih funsgikan oleh pelaku-pelaku usaha yang tuna-eko, hanya memikirkan keuntungan sesaat dan tidak hirau dengan dampak besar.
Akhlakul biah menjadi garda terdepan dalam sikap, perilaku, tindakan dan kebijakan, sehingga lingkungan kita bisa pulih kembali (environment recovery).