Oleh: Miqdam Awwali Hashri, S.E., M.Si (LDK PP Muhammadiyah, Mahasiswa Program Doktoral Pengkajian Islam Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Founder Gowes untuk Zakat)
Krisis lingkungan bukan lagi ancaman masa depan, melainkan kenyataan hari ini. Banjir di beberapa kota waktu lalu, kekeringan ekstrem, krisis air bersih, kenaikan permukaan laut, hingga hilangnya keanekaragaman hayati membuktikan bahwa bumi sedang tidak baik-baik saja. Ironisnya, krisis ini bukan semata-mata akibat faktor alam, melainkan juga akibat ulah tangan manusia yang abai terhadap amanah Tuhan dalam menjaga alam. Dalam situasi yang kian genting ini, zakat, infak, dan sedekah (ZIS) sebagai instrumen utama filantropi Islam hadir membawa harapan baru sebagai kekuatan sosial-spiritual dalam melawan krisis alam.
Filantropi Islam tidak bisa lagi hanya berkutat sebatas pada penyantunan fakir miskin atau terjebak pada isu-isu sosial ekonomi semata. Kini, isu lingkungan harus diakui sebagai bagian integral dari misi keadilan sosial dan peradaban Islam. Sejak 2018 lalu, telah terbit buku Fikih Zakat on SDGs sebagai salah satu terobosan dunia filantropi Islam dalam menyikapi isu global. Namun, perlu dipahami bahwa SDGs atau Sustainable Development Goals berakar pada tiga pilar pembangunan berkelanjutan, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Hanya saja, dalam praktik dan perkembangannya, program lingkungan yang telah berjalan seakan masih termarjinalkan dan hanya menjadi subordinat dari pilar ekonomi dan sosial. Sudah saatnya pilar lingkungan mendapatkan perhatian yang seimbang di samping kedua pilar lainnya.
Belum lama ini, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah mengambil langkah berani dengan menyusun konsep tasharruf ZIS untuk program lingkungan dan energi terbarukan. Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah melalui Focus Group Discussion “Tinjauan Syariah terhadap Tasharruf ZIS untuk Lingkungan dan Energi” menegaskan bahwa transisi energi yang berdampak pada hifzhul bi’ah (perlindungan lingkungan) adalah bagian dari maqashid syariah yang layak dipertimbangkan. Ini merupakan salah satu upaya menjaga kelestarian alam yang dapat masuk dalam kategori kemaslahatan umum (maslahah ‘ammah). Hal ini sejalan dengan ijtihad kontemporer yang adaptif terhadap konteks zaman. Meskipun belum menjadi suatu putusan resmi, ini merupakan langkah ijtihad monumental yang bersejarah serta menegaskan bahwa menjaga bumi adalah bagian dari ibadah dan aktualisasi nilai-nilai ketauhidan yang harus diapresiasi.
Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan Fatwa No. 86 Tahun 2023 tentang Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global yang menegaskan kewajiban semua pihak untuk turut berkontribusi dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim yang lebih baik. Termasuk di antaranya adalah upaya mengurangi jejak karbon yang bukan merupakan kebutuhan pokok dan upaya transisi energi yang berkeadilan. Fatwa ini menjadi argumen kuat bahwa menjaga lingkungan bukan hanya tanggung jawab ekologis, melainkan juga kewajiban dalam perspektif teologis. Maka, penggunaan dana ZIS oleh filantropi Islam untuk membiayai proyek-proyek pelestarian lingkungan, pengembangan energi bersih, reboisasi, atau pengelolaan sampah berbasis komunitas memiliki legitimasi agama yang kuat. Tentu saja, hal ini juga menuntut masyarakat, terutama umat Islam, agar memiliki pemahaman yang sama dalam hal menjaga kelestarian lingkungan sebagai salah satu sasaran dari penggunaan dana ZIS. Masyarakat luas juga harus turut serta membantu lembaga filantropi Islam dalam upaya perbaikan lingkungan.
Dalam perspektif spiritual yang lebih mendalam, Prof. Haedar Nashir mengajukan paradigma teoantroposentris sebagai fondasi etis menghadapi krisis alam dan kemanusiaan. Konsep ini berpijak pada pandangan profetik, yaitu menempatkan Allah Swt. sebagai pusat kehidupan, manusia sebagai khalifah di bumi, dan alam sebagai amanah yang harus dipelihara dengan baik. Dengan pendekatan teoantroposentris, kerusakan lingkungan tidak dilihat semata sebagai kegagalan teknis, melainkan sebagai refleksi dari kerusakan spiritual manusia. Maka, memperbaiki alam sesungguhnya adalah bagian dari upaya memperbaiki kualitas keimanan dan hubungan manusia dengan Sang Khalik.
Posisi Dakwah Komunitas
Para aktivis dakwah komunitas dalam konteks ini pun perlu membaca zaman. Tidak cukup lagi hanya mengajak manusia kepada aspek ritual, tetapi juga harus menyadarkan umat untuk menyelamatkan bumi yang sedang sakit. Dakwah komunitas harus lebih bersifat inklusif, melintasi batas agama dan etnis, serta adaptif terhadap tantangan zaman. Menanam pohon, mengembangkan energi terbarukan, mengelola sampah, hingga mengedukasi tentang krisis iklim kini menjadi bagian integral dari tugas dakwah komunitas. Dakwah amal nyata yang seperti inilah yang memberi makna kepada iman, melahirkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Setiap lembaga filantropi Islam perlu memiliki departemen atau divisi yang fokus pada program-program lingkungan berbasis komunitas. Masyarakat telah bergerak, seperti yang ada di Yogyakarta yang dimotori oleh Lembaga Dakwah Komunitas (LDK) PWM DIY dalam Gerakan Sedekah Sampah (GSS). Fenomena semacam ini tentu harus dibaca oleh lembaga filantropi Islam dan masyarakat agar terus didukung sehingga berkelanjutan. Bayangkan jika ribuan masjid menggunakan energi surya, jutaan pohon ditanam di lahan kritis, komunitas-komunitas Muslim menjadi pelopor gerakan hijau, maka umat Islam akan dikenal sebagai penjaga bumi yang penuh kasih. Ini bukan sekadar visi idealistis, melainkan kebutuhan mendesak untuk memastikan keberlanjutan kehidupan generasi mendatang. Inilah bentuk strategi dakwah komunitas yang sesuai zamannya dan berkemajuan.
Dakwah komunitas yang diusung oleh Muhammadiyah memiliki ciri khas, yaitu pembinaan dan pendampingan. Para aktor dakwah komunitas memiliki peran penting dalam membantu lembaga filantropi Islam menyukseskan program-program lingkungan dengan membina dan mendampingi komunitas yang aktif dalam program-program tersebut. Bercermin dari para pendakwah Islam di Nusantara dahulu, seperti Syaikh Maulana Malik Ibrahim yang juga merupakan ahli di bidang pertanian, ia membantu masyarakat sekitar untuk meningkatkan produktivitas pertanian dengan memperkenalkan teknik irigasi. Dakwah tidak melulu memperdebatkan perbedaan keyakinan. Yang perlu dihadirkan adalah solusi atas krisis yang ada, dalam konteks ini tentunya adalah krisis lingkungan. Aktivis dakwah komunitas perlu menyadarkan manusia agar tidak merusak lingkungan. Ulah manusia yang merusak lingkungan inilah yang kemudian dikritik oleh Seyyed Hossein Nasr, bahwa krisis ekologi modern berakar dari krisis spiritualitas di mana manusia telah melupakan peran sakralnya dalam menjaga alam. Maka, menyadarkan manusia agar memelihara lingkungan juga bagian dari mengajak mereka pada nilai-nilai spiritual.
Kini saatnya umat Islam sadar dan bergerak maju. Tidak cukup hanya prihatin terhadap bencana ekologis yang terjadi. Tidak cukup hanya berdoa agar bumi terselamatkan. Islam menuntut amal nyata. Tunaikan zakat, infak, dan sedekah, dan arahkan ia sebagai energi penyelamat bumi. Setiap rupiah yang dikeluarkan untuk program lingkungan bukan hanya menyelamatkan pohon atau sungai, tetapi juga menyelamatkan manusia dari dosa kolektif merusak bumi.
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap ekspresi beragama. Jika air tercemar, tentu bersuci menjadi tidak mudah. Jika udara penuh polusi, tentu bersilaturahmi menjadi terganggu. Jika terjadi banjir, tentu untuk beribadah pun menjadi sulit. Kiai Ahmad Dahlan pernah berpesan, “Janganlah kamu berteriak-teriak sanggup membela agama, meskipun harus menyumbangkan jiwamu sekalipun. Jiwamu tak usah kau tawarkan, kalau Allah menghendakinya, entah dengan jalan sakit atau tidak, tentu kau akan mati sendiri. Tetapi, beranikah kamu menawarkan harta bendamu untuk kepentingan agama?” Memelihara lingkungan merupakan bagian dari kepentingan agama. Dan dalam konteks saat ini, melalui zakat, infak, dan sedekah untuk perbaikan lingkungan merupakan bagian dari kepentingan agama.