LDKMUH.OR.ID, Jakarta – Dalam dunia pendidikan, penyebaran guru yang tidak merata menjadi salah satu masalah utama. Banyak sekolah yang memiliki jumlah guru yang cukup, sementara yang lain kekurangan tenaga pengajar. Masalah ini juga melibatkan guru non-ASN, khususnya guru agama, yang diharapkan dapat mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG) dan sertifikasi untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Sebagai seorang yang berpengalaman di bidang Pendidikan Agama Islam (PAI), hal ini menekankan bahwa ujian untuk menjadi guru agama di sekolah sangatlah berat, dan tantangan pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) pun tak kalah besar.
Hal itu disampaikan saat sesi tanya jawab dari salah satu peserta ketika materi yang disampaikan oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia, Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ud, pada Selasa (12/11) dalam rangkaian Silaturahim Nasional Dai Komunitas Lembaga Dakwah Komunitas (LDK) di BPMP DKI Jakarta.
Selain itu, perubahan kurikulum yang terus berkembang dianggap sebagai hal yang biasa, namun yang lebih penting adalah bagaimana guru dapat mengajarkan materi dengan cara yang tepat dan menyenangkan. Pendekatan pembelajaran yang mendalam (deep learning approach) diperlukan agar materi yang diajarkan dapat lebih bermakna dan tidak terkesan monoton. Pembicara juga menegaskan bahwa meskipun tafsir dapat berubah seiring waktu, wahyu sebagai dasar agama tidak akan pernah berubah.
“Kurikulum berubah itu biasa saja. Yang penting bagaimana guru bisa mengajarkan materi dengan tepat. Meaningful, Mindful dan Joyful. Untuk bisa itu harus deep learning approach,” terang Abdul Mu’ti merespon tanya jawab.
Masalah sosial juga menjadi perhatian penting, terutama terkait dengan pergeseran orientasi seksual di kalangan anak muda. Isu LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) dianggap sebagai ancaman serius, karena dapat mempengaruhi pandangan generasi muda mengenai pernikahan dan regenerasi umat. Beberapa anak muda bahkan mulai menganggap pernikahan tidak penting dan memilih untuk tidak memiliki anak (child-free). Hal ini dianggap bermasalah, terutama bagi masa depan umat manusia.
“LGBT itu masalah serius. Dikalangan anak muda terjadi pergeseran orientasi seksual yang sangat berbahaya,” tegas Mu’ti menyampaikan pada hadapan peserta.
Selain itu, fenomena penyebaran isu LGBT juga semakin gencar melalui media sosial dan budaya pop, bahkan di negara-negara seperti Kanada dan Austria, di mana pernikahan sesama jenis sudah diterima secara luas dan pilihan identitas gender menjadi semakin beragam.
“Ada kecenderungan child free. Itu memang pilihan tapi bermasalah dengan regenerasi umat.
Beberapa kasus, misalnya penampilan di TV, itu sudah mulai dikurangi, tapi di medsos kan tidak bisa dikontrol. Dan kelompok pelangi itu aktif sekali. Waktu saya ke Toronto itu banyak di tembok memfasilitasi pernikahan sesama jenis, dan kampanyenya luar biasa,” jelas Mu’ti.
“Di Austria itu sudah ada mengisi kolomnya sudah tiga. Male, female and others, di forum internasional sudah seperti itu. Bahkan di buku-buku hampir dimasukkan seperti itu,” jelas Mu’ti menerangkan bahaya LGBT.
Di tengah tantangan ini, pembicara menekankan pentingnya dakwah yang mampu beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa kehilangan esensi ajaran agama. “Tantangan kita adalah membaur dengan mereka. Karena itu tantangan dakwah kita semakin kompleks,” tutup Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI tersebut dalam sesi tanya jawab.
Editor : Najihus Salam