LDKMUH.OR.ID, Yogyakarta – Keberagaman di Indonesia bukan hanya sebuah fakta, melainkan sebuah anugerah yang harus dijaga. Hal ini disampaikan oleh Muchamad Arifin, S.Ag., M.Ag., Ketua Lembaga Dakwah Komunitas Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dalam pidatonya. Beliau menegaskan pentingnya menjaga harmoni di tengah-tengah perbedaan yang ada di negara ini. Menurutnya, perbedaan adalah sunnatullah atau ketentuan Allah, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Hujurat ayat 13, bahwa Allah menciptakan manusia dengan beragam suku dan bangsa agar mereka saling mengenal.
“Lembaga Dakwah Komunitas adalah program baru Muhammadiyah yang difokuskan pada pembinaan anak punk, mualaf, dan masyarakat di lembaga pemasyarakatan,” ungkap Arifin. Program ini bertujuan untuk mengajak komunitas-komunitas tersebut agar lebih memahami nilai-nilai agama dan menjadi bagian dari solusi dalam menciptakan harmoni sosial.
Menurut Arifin, kekayaan terbesar Indonesia adalah perbedaannya. Negara ini terdiri dari banyak pulau, suku, dan bahasa, yang jika tidak dikelola dengan baik, dapat menjadi sumber konflik. “Perbedaan adalah kekayaan, bukan ancaman. Justru, dengan adanya perbedaan itulah kita harus saling melengkapi dan menghargai. Bhinneka Tunggal Ika hadir sebagai simbol pentingnya persatuan dalam keberagaman,” katanya.
Arifin menambahkan bahwa sering kali perbedaan memicu konflik. Namun, sebagai mahasiswa, generasi muda harus bisa memainkan peran penting dalam mencegah perbedaan tersebut menjadi sumber permusuhan. “Bagaimana kita, sebagai umat beriman, bisa bersyukur atas nikmat Allah, yaitu perbedaan? Kita jangan sampai bermusuhan hanya karena nafsu, karena bermusuhan bukan ciri orang beriman,” tegasnya.
Salah satu isu utama dalam keberagaman adalah toleransi. Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, telah lama mempraktikkan toleransi. Arifin menjelaskan bahwa toleransi bukan berarti mengikuti keyakinan orang lain, melainkan menghargai mereka tanpa perlu ikut dalam praktik keagamaan mereka. “Toleransi itu menghargai, bukan mengikuti. Ada kesalahpahaman yang menganggap toleransi berarti kita harus mengikuti kepercayaan orang lain. Itu keliru,” jelasnya.
Di dalam Islam, lanjut Arifin, konsep moderasi beragama juga penting. Moderasi beragama adalah upaya mengatur tata cara kehidupan umat beragama agar tidak terjadi konflik. “Moderasi bukan mengatur agama, melainkan bagaimana orang yang beragama itu hidup rukun. Toleransi dan moderasi bertujuan untuk mencegah konflik,” katanya.
Selain itu, Arifin juga menyinggung bahaya intoleransi, yang ia sebut sebagai penyakit hati. Penyakit ini, jika tidak diatasi, dapat berkembang menjadi radikalisme. “Intoleransi adalah penyakit hati yang harus dicegah. Jika dibiarkan, ia bisa berubah menjadi radikalisme, yang tidak hanya membahayakan diri sendiri, tetapi juga orang lain, bahkan bangsa,” paparnya.
Arifin mengingatkan bahwa ancaman radikalisme nyata dan bisa menyasar siapa saja, termasuk anak muda. Ia mencontohkan seorang anak berusia 11 tahun, Hatf Saiful, yang terjerat dalam kelompok teroris ISIS. Menurutnya, ini adalah peringatan bagi semua pihak untuk lebih memperhatikan pendidikan agama yang moderat dan toleran.
Muhammadiyah, lanjutnya, tidak pernah mengajarkan permusuhan kepada siapa pun. Sebaliknya, Muhammadiyah selalu menekankan pentingnya dakwah yang mengajak, bukan memaksa. “Surga dan neraka adalah pilihan pribadi, tidak ada paksaan dalam keyakinan. Dakwah kita adalah untuk mengajak, bukan memaksa,” tutup Arifin.
Melalui pidatonya, Arifin mengajak semua pihak, terutama generasi muda, untuk menjaga keberagaman dengan sikap toleransi dan moderasi. Sebab, hanya dengan cara ini konflik bisa dihindari, dan Indonesia dapat terus menjadi negara yang damai di tengah keberagaman.
Sumber : pwmjateng.com