Wasiat KHA Dahlan kepada KH Ibrahim, 1923
“Him, agama Islam itu kami misalkan laksana gayung yang sudah rusak vorm (pegangan)-nya, dan rusak pula kalengnya, sudah sama bocor dimakan teyeng (karat), sehingga tidak dapat digunakan pula sebagai gayung. Oleh karena kita umat Islam perlu akan menggunakan gayung tersebut, tetapi tidak dapat karena gayung itu sudah sangat rusaknya. Sedang kami tidak mempunyai alat untuk memperbaikinya, tetapi tetangga dan kawan-kawan di sekitarku itu banyak yang memegang dan mempunyai alat itu, tetapi mereka juga tidak banyak yang memegang dan mempunyai alat itu, tetapi mereka juga tidak mengetahui bahwa alat-alat yang dipegang dan dimiliki itu dapat digunakan untuk memperbaiki gayung yang kami butuhkan itu. Maka perlulah kamu mesti berani meminjam untuk memperbaikinya.
Siapakah tetangga dan kawan-kawan yang ada di sekitar kamu itu? Ialah mereka kaum cerdik pandai dan mereka orang-orang yang terpelajar yang mereka itu tidak tahu memahami agama Islam. Padahal, mereka itu pada dasarnya merasa dan mengakui bahwa pribadinya itu Muslim juga. Karena banyak mereka itu memang daripada keturunan kaum muslimin, malah ada yang keturunan dari penghulu-penghulu dan kiai-kiai terkemuka. Tetapi, karena mereka melihat keadaan umat Islam pada umumnya keadaan krisis dalam segala-galanya, mereka tidak ingin menjadi umat yang bobrok. Oleh karena itu dekatilah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya sehingga mereka mengenal kita, dan kita mengenal mereka. Sehingga, perkenalan kita bertimbal balik, sama-sama memberi dan sama-sama menerima.”
Wasiat KHA Dahlan
KHA Dahlan telah menyampaikan wasiat tersebut kepada KH Ibrahim, pada sekitar tahun 1923, ketika menjelang ajal KHA Dahlan. Dalam rentan waktu tersebut, terdapat situasi politik Hindia-Belanda mengeluarkan kebijakan Ethische Politiek (1901 – 1942) atau kita biasa mengenalnya dengan politik balas budi. Politik balas budi tersebut menerangkan bahwa pemerintah Hindia-Belanda memiliki tanggung jawab moral dan kesejahteraan bagi wilayah jajahannya.
Di masa itulah, Syaikh Jamaluddin Al Afghani dan Syaikh Muhammad Abduh memulai gerakan Islam Reformis masuk secara masif ke Hindia-Belanda, bersamaan dengan kembalinya jamaah haji dari Nusantara. Demikianlah, termasuk KHA Dahlan beserta beberapa murid dan koleganya.
Masifnya gerakan Islam Reformasi ketika itu. Terbukti, salah satunya dengan lahirnya Muhammadiyah di Yogyakarta pada tahun 1912 oleh KHA Dahlan. Situasi paham keagamaan ketika itu tentu sangat berbeda jauh dengan kondisi saat ini. Hal ini juga tidak lepas dari pengaruh situasi politik, baik yang ada di Hindia-Belanda ketika itu, maupun skala global.
Kebangkitan Umat di Tengah Keterpurukan
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa pada awal abad ke-20, tepatnya pada tahun 1914 Perang Dunia I (PD-I) yang ada di Eropa hingga tahun 1914. Peperangan tersebut tentu memiliki dampak yang luar biasa, yang juga berpengaruh terhadap geopolitik yang ada di Nusantara ketika itu. Dunia Islam juga terlibat dalam peperangan tersebut, dengan masuknya Kesultanan Utsmaniyah ke dalam kancah peperangan PD-I bergabung dengan aliansi Jerman. Hingga pada akhirnya Kesultanan Utsmaniyah runtuh pada tahun 1923 setelah berdiri tegak sekitar 6 abad lamanya.
Ditengah situasi kemunduran inilah, ketika menjelang ajalnya, KHA Dahlan memberikan wasiat yang berharga untuk KH Ibrahim. Tentunya wasiat tersebut bukan untuk KH Ibrahim semata, melainkan juga agar terus berlanjut untuk segenap umat Islam terutama bagi para aktivis Muhammadiyah. KHA Dahlan menyampaikan kondisi umat Islam secara umum saat itu telah mengalami kemunduran yang sangat jauh. Ketika dunia barat sudah sangat maju dan berkembang, baik secara ilmu alam, ilmu sosial, dan ilmu budaya.
Umat Islam justru sibuk dengan hal-hal yang sebenarnya telah tuntas pembahasannya dari para ulama. Terutama di Hindia-Belanda, masih saja sibuk dengan perdebatan persoalan furu’iyah seperti masalah fiqh. Selain itu, aspek akidah juga mengalami pendangkalan karena terjebak pada sinkretisme, maka muncullah istilah TBC (Takhayul, Bid’ah, Churafat). Hal ini diperparah oleh penindasan ekonomi dan politik yang dilakukan pemerintah Hindia-Belanda dengan cara menguras sumberdaya alam Nusantara untuk kepentingan mereka.
Mewarisi Wasiat KHA Dahlan dan Peran Strategis Multidisiplin
Umat Islam yang sedang sakit tersebut, contohnya seperti sebagai sebuah gayung yang rusak. Bahkan untuk memperbaiki diri sendiri saja sudah sangat lemah. Maka dari itu, membutuhkan ilmu dan hikmah dari luar.
KHA Dahlan mengajarkan bahwa untuk mencari ilmu dan hikmah tersebut, umat Islam harus berani mengambil dari umat beragama lain karena ilmu dan hikmah merupakan anugerah dari Allah bagi umat manusia. Bisa seperti ilmu dan hikmah tersebut Allah titipkan kepada umat beragama lain yang perlu kita pinjam secara baik-baik.
Bahkan ada juga dari sebagian umat Islam, yang mengakui bahwa dirinya Islam, namun masih sangat jauh pemahaman dan pengamalannya tentang Islam. KHA Dahlan mewasiatkan agar tidak menjauhi mereka, melainkan menjadikan mereka sebagai rekan atau partner dalam kebaikan.
Hal ini menandakan bahwa menurut KHA Dahlan untuk menggerakkan dakwah Islam yang bersifat global ini membutuhkan pendekatan Multidisipliner-Interdisipliner-Transdisipliner (MIT). Pendekatan tersebut menjadi penting karena permasalahan umat semakin kompleks dan mengakar sehingga perlu menggunakan pendekatan yang lebih komprehensif.
Revolusi Pemikiran KHA Dahlan untuk Kebangkitan Umat
Pemikiran KHA Dahlan, yang mengisyaratkan tentang pendekatan dakwah MIT pada era tersebut, sungguh merupakan pemikiran yang sangat revolusioner pada zamannya. Pada saat itu belum terpikirkan bagaimana cara menyelesaikan permasalahan umat yang sedemikian rumitnya. Penggunaan pendekatan agamis saja tidak cukup untuk menjawabnya. Umat Islam perlu memiliki cakrawala berpikir yang lebih luas agar dapat membawakan agama Islam ini dengan sebaik-baiknya. Umat Islam memiliki tanggung jawab besar sebagai umat yang memberikan solusi atas masalah keumatan.
Nyatanya, KH Ibrahim bersama dengan aktivis lainnya menjalankan wasiat tersebut dengan baik sehingga estafet kepemimpinan Muhammadiyah dapat melampaui masa-masa sulit dari dulu hingga sekarang. Sudah beragam jenis Amal Usaha Muhammadiyah lahir dengan untuk menjadi solusi permasalahan umat dalam wujud yang nyata, seperti sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, panti asuhan, lembaga keuangan, dan beragam macam lainnya.
Wasiat ini pula yang mengantarkan Muhammadiyah untuk terus tumbuh dan berkembang mendampingi perjalanan bangsa ini hingga mencapai apa yang ada sekarang. Proses majunya peradaban bangsa tidak lepas dari segala macam persoalan dan rintangan. Ini semakin memperkuat perlunya dakwah lintas disiplin untuk mengarunginya.
Oleh: Miqdam A. Hashri, M.Si, LDK PP Muhammadiyah, Mahasiswa Doktoral Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor : Najihus Salam