Idul Adha tahun ini agak berneda. Sebab pemerintah, termasuk di dalamnya organisasi Islam paling berpengaruh di negeri ini yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama menentukan Hari Raya Idul Adha pada hari Senin, 17 Juni 2024. Ketentuan ini berbeda dengan ketetapan Arab Saudi yang menentukan Hari Raya Idul Adha sehari sebelumnya, yaitu Minggu, 16 Juni 2024. Dengan demikian pelaksanaan wukuf (tanggal 9 Dzulhijah) menurut versi Arab Saudi adalah pada hari Sabtu, 15 Juni 2024. Perbedaan ini sontak menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Sebab masyarakat kita mempercayai bahwa puasa ‘arafah harus berbarengan dengan pelaksanaan wukuf dan Arab Saudi tentunya menjadi kiblat umat Islam dalam masalah ini. Tulisan ini akan membahas masalah tersebut. Tulisan ini adalah khutbah penulis di masjid al-Ma’un Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka, Jakarta. Sebagai naskah ceramah penulis menyadari bahwa bobotnya tidak akademis dan kurang ilmiah. Namun demikian berdasarkan penelusuran bacaan dan analisa, penulis meyakini tulisan ini dapat dipertanggugjawabkan.
Kenapa Disebut Hari Arafah?
Penamaan Hari Arafah pada awalnya tidak ada hubungannya dengan pelaksanaan wukuf di Padang Arafah. Penamaan Arafah sudah ada sejak masa Nabi Ibrahim AS, jauh sebebelum ibadah haji diwajibkan bagi umat Islam, yaitu tahun 9 Hijriah. Ada banyak pandangan ulama mengenai alasan di balik penamaan hari tersebut kenapa kemudian disebut hari Arafah. Laman nu.or.id menyebutkan, Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam kitabnya yang berjudul Mafatihul Ghaib menguraikan beberapa alasan yang menjadi sebab hari itu disebut hari Arafah.
Diantara alasan yang menurut penulis paling relevan adalah bahwa penamaan Arafah berasal dari kisah Nabi Ibrahim AS pada saat menerima wayu dari Allah untuk menyembelih anaknya, Ismail. Perintah itu didapatkan pada tanggal 8 Dzulhijjah. Setelah menerima perintah ini maka Nabi Ibrahim AS berpikir mempertimbangkan beberapa hal. Hal ini wajar adanya sebagai seorang manusia. Ini adalah perintah yang luar biasa, di luar nalar manusia.
Setelah itu perintah berulang pada malam berikutnya sehingga Nabi Ibrahim mendapatkan kesimpulan atas kebenaran wahyu itu dan merasa mantap untuk melaksanakannya. Karena itulah hari tanggal 9 Dzulhijjah kemudian disebut hari Arafah (hari mengetahui atau hari diketahuinya sesuatu). Arafah seakar kata dengan ‘arafa yang artinya “mengetahui”. Nabi Ibrahim kini memahami, meyakini dan mengetahui bahwa wahyu ini adalah benar adanya dan akan segera dilakasanakan.
Bahkan ada yang menarik lebih jauh lagi hingga masa Nabi Adam AS. Menurut pendapat ini, hari arafah adalah hari pertemuan Nabi Adam AS dan Hawa. Pada hari ini, Nabi Adam AS dan Hawa saling bertemu di suatu tempat dan mengetahui (‘arafa) keberadaan masing-masing setelah sekian lama berpisah. (www.alif.id). Karena itulah hari pertemuan ini dinamakan Hari Arafah dan tempat pertemuan ini disebut Padang Arafah. Karena itu juga kita dapat menyaksikan di tempat ini terdapat bukit yang disebut Jabal Rahmah (bukit kasih sayang) yang diyakini sebagai tempat bertemunya Nabi Adam AS dan Sayidatina Hawa. Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa penyebutan Hari Arafah tidak ada hubungannya dengan wukuf di Padang Arafah dalam Islam, sebab saat itu belum ada perintah haji yang di dalamnya ada wukuf di Padang Arafah.
Apakah Pada Masa Rasulullah SAW Sebelum Diwajibkannya Haji Sudah Ada Puasa ‘Arafah?
Laman Muhammadiyah.or.id menyhebutkan bahwa pada masa Rasulullah SAW, sebelum turun perintah haji yang berarti sebelum adanya wukuf di Padang Arafah, ternyata sudah ada puasa tanggal 9 Dzulhijjah. Puasa justru dilakasanakan 10 hari, mulai tanggal 1 hingga tanggal 9 Dzulhijjah. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits berikut:
عَنْ هُنَيْدَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنِ امْرَأَتِهِ عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ
Dari Hunaidah ibn Khālid, dari istrinya, dari salah seorang istri Nabi saw (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Adalah Rasulullah saw melakukan puasa pada sembilan hari bulan Zulhijah, hari Asyura, tiga hari setiap bulan, dan hari Senin dan Kamis pertama setiap bulan [HR Aḥmad dan Abū Dāwūd].
Memang ada sebagian ulama yang menilai hadis dari Hunaidah ibn Khālid di atas lemah (dhaif) misalnya az-Zailā’i, Ibn al-Munżir dan ‘Abdullāh al-Arna’ūṭ yang menyatakan hadits itu lemah. Namun hadits ini dinilai sahih oleh al-Albānī.
Kemudian setelah perintah haji turun sahabat bertanya-tanya apakah Rasululah SAW tetap berpuasa seperti biasanya pada tanggal 9 Dzulhijah atau tidak berpuasa. Hal ini menjadi tanda tanya para sahabat yang salah satunya diceritakan dalam hadits berikut:
عَنْ مَيْمُونَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا قَالَتْ إِنَّ النَّاسَ شَكُّوا فِى صِيَامِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَرَفَةَ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ مَيْمُونَةُ بِحِلاَبِ اللَّبَنِ وَهُوَ وَاقِفٌ فِى الْمَوْقِفِ فَشَرِبَ مِنْهُ وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ إِلَيْهِ
Dari Maimūnah istri Nabi saw (diriwayatkan) bahwa ia berkata: Orang-orang saling berdebat apakah Nabi saw berpuasa pada hari Arafah. Lalu Maimūnah mengirimkan pada beliau satu wadah (berisi susu) dan beliau dalam keadaan berdiri (Wukuf), lantas beliau minum dan orang-orang pun menyaksikannya [HR al-Bukhārī dan Muslim.
Jadi, berdasarkan hadits di atas, pada tanggal 9 Dzulhijah ketika Rasulullah SAW sedang wukuf, beliau tidak berpuasa seperti biasanya. Inilah yang menjadi dasar bahwa puasa arafah tidak disunahkan bagi jamaah haji yang sedang wukup. Hal ini ditegaskan dalam hadits berikut:
عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى أَبِى هُرَيْرَةَ فِى بَيْتِهِ فَسَأَلْتُهُ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ بِعَرَفَاتٍ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ بِعَرَفَاتٍ
Dari ‘Ikrimah Maulā ibn ‘Abbās (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Saya menemui Abū Hurairah di rumahnya dan menanyakan tentang puasa hari Arafah di padang Arafah, beliau menjawab: Rasulullah saw melarang puasa hari Arafah di padang Arafah [HR Aḥmad, Abū Dāwūd dan Ibn Mājah].
Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya puasa tanggal 9 Dzulhijah memang sudah dijalankan Rasulullah SAW sebelum adanya perintah haji, sebelum ada wukuf. Karena itulah ketika saat itu Rasulullah SAW sedang wukuf kemudian sahabat bertanya-tanya apakah Rasulullah SAW berpuasa seperti biasanya atau tidak. Ternyata tidak berpuasa saat sedang wukuf.
Adakah Puasa Tarwiyyah (Puasa Tanggal 8 Dzulhijah)?
Puasa tarwiyyah, yaitu puasa tanggal 8 Dzulhijah memang ada haditsnya sebagai berikut:
صوم يوم التروية كفارة سنة وصوم يوم عرفة كفارة سنتين (أبو الشيخ ، وابن النجار عن ابن عباس)
Artinya: “Puasa pada hari tarwiyah (8 Dzulhijjah) akan mengampuni dosa setahun yang lalu. Sedangkan puasa hari Arafah (9 Dzulhijjah) akan mengampuni dosa dua tahun.”
Hadits tersebut diriwayatkan dari Ibnu An Najjar dan Abusy Syaikh dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhu. Namun, Asy Syaukani dan Ibnul Jauzi mengatakan bahwa hadits ini dusta atau tidak shahih, sebab dalam riwayatnya terdapat perawi pendusta. Syeikh Al-Albani juga mengatakan bahwa hadits tersebut adalah dho’if (lemah). Tidak ada satupun yang menshahihkan hadits ini.
Laman website Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur juga menegaslkan bahwa hadits itu dha’if. Namun demikian pada laman ini disebutkan bahwa pengamalan puasa hari tarwiyyah ini bisa disandarkan pada hadits yang menyebutkan bahwa Rasulllah SAW berpuasa di tanggal 1-9 Dzulhijah dimana tanggal 8-nya tentunya termasuk di dalamnya.
Kesimpulan tentang Puasa Arafah
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa puasa yang benar-benar didasarkan pada hadits shahih yang tidak diperselisihkan oleh semua ulama adalah puasa tanggal 9 Dzulhijah yang disebut dengan puasa hari arafah. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits shahih:
عَنْ أَبِى قَتَادَةَ الأَنْصَارِىِّ رَضِىَ الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ
صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَة
Dari Abū Qatādah (diriwayatkan) bahwa Rasulullah saw ditanya … tentang puasa hari Arafah, lalu beliau menjawab: (Puasa hari Arafah itu) menghapus dosa-dosa satu tahun lalu dan satu tahun yang akan datang… [HR jemaah ahli hadis kecuali al-Bukhārī dan at-Tirmiż).
Puasa hari arafah pada dasarnya tidak harus selalu bertepatan dengan wukuf di arafah. Sebab pada kenyataannya Rasulullah SAW sudah menjelankan puasa ini jauh sebelum adanya perintah haji. Jika mau menjalankan puasa pada tanggal 8 Dzulhijah sebaiknya dimulai sejak tanggal 1 sehingga total 9, dari tanggal 1 sampai tanggal 9. Demikian tatacara yang sesuai dengan hadits yang setidaknya dishahihkan oleh sabagian ulama. Puasa hanya tanggal 8 dan 9 dengan anggapan bahwa tanggal 8 ada keistimewaan tersendiri sebagai hari tawiyyah tidak bisa dijadikan alasan karena haditsnya sangat dha’if.
Pentingnya Kalender Hijriah internasional
Bulan Dzulhijah itu sudah ada jauh sebelum adanya puasa arafah. Puasa arafah itu dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijah, bukannya: tanggal 9 Dzulhijah yang harus disesuaikan dengan puasa arafah. Sebab yang menjadi dasar adalah perhitungan awal bulan, bukan perhitungan hari arafah. Pertanyaannya adalah perhitungan bulan Dzulhijah yang mana yang benar? Arab Saudi atau Indonesia (pemerintah, Muhammadiyah, NU)? Jika yang benar Indonesia, maka wukufnya yang salah hari. Tapi jika yang benar Arab Saudi, bahkan puasa arafah di Indonesia yang berbeda dengan wukuf di Arab Saudi tetap benar. Sebab puasa arafah memang tidak harus bersamaan dengan wukuf.
Namun demikian, untuk menjawab pertanyaan ini sesungguhnya tidak terlalu mudah. Tidak bisa hitam putih. Alasan utamanya adalah karena ukuran penampakan bulan (hilal) yang menjadi standar berbeda-beda. Bahkan penampakan halal pada setiap negara memang berbeda-beda.
Karenanya, perbedaan pelaksanaan Hari Raya Idul Adha, termasuk juga seringkali terjadi dalam perayaan Hari Raya Idul Fitri, hendaknya menjadi pelajaran bagi umat Islam bahwa kita membutuhkan instrumen kesatuan umat. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan perhitungan penetapan awal bulan di setiap negara dimana masing-masing mempunyai ukuran yang berbeda.
Karenanya, penting untuk diadakan suatu kesepakatan internasional tentang adanya ukuran yang sama sehingga dapat disusun kalender Hijriah internasional. Langkah Muhammadiyah yang telah mendorong dan melakukan langkah-langkah konkrit untuk agenda ini seharusnya diikuti oleh yang lain. Kehadiran kalender internasional ini sangat penting bukan hanya untuk menyelesaikan perbedaan mengenai pelaksanaan hari raya. Lebih dari itu, kehadiran kalender ini akan menjadi titik awal untuk membangun kesatuan umat, untuk menegakkan kembali peradaban Islam yang dulu pernah kita raih.
Hal ini tentunya bukan perkara mudah, bukan hanya karena masih adanya perbedaan pandangan di kalangan umat Islam sendiri baik karena alasan teologis mapun pragmatis. Pihak luar juga pastinya akan sangat khawatir dengan lahirnya kalender ini. Sebab di sana ada banyak kepentingan yang bersinggungan, termasuk urusan bisnis dan politik. Terlebih hal ini akan menjadi triger untuk kesatuan umat Islam yang sangat ditakuti oleh musuh-musuh Islam. Semoga Allah SWT memberikan jalan kemudahan.
Oleh: Tohirin Sanmiharja, Wakil Sekretaris Lembaga Dakwah Komunitas PP Muhammadiyah