LDK PP Muhammadiyah

Khutbah Jumat : Refleksi Pasca Iduladha, Islam dan Ibadah Harta

0 56

Oleh: Taufiq Adi Kurniawan, Ketua Bidang Tabligh dan Kajian Keislaman PC IMM Sukoharjo

 

إِنَّ الحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِيْرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ

 أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهَ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ لاَ نَبِيَ وَلَا رَسُولَ بَعْدَهُ.

قَالَ تَعَالَى فِي القُرْآنِ الكَرِيمِ :﴿ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ ١٠٢ ﴾ ( اٰل عمران/3: 102)

﴿ يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَاۤءً ۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا ١ ﴾ ( النساۤء/4: 1) 

﴿ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًاۙ ٧٠ يُّصْلِحْ لَكُمْ اَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْۗ وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا ٧١ ﴾ ( الاحزاب/33: 70-71)

وَقَالَ أَيْضاً : ﴿ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا ٢٩ ﴾ ( النساۤء/4: 29)

اللَّهُمَّ صَلِّي عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِينْ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسِانٍ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ. أَمَّا بَعْدُ 

Pertama-tama marilah kita senantiasa bersyukur kehadhirat Allah SwT yang telah memberikan kesempatan kepada kita untuk melaksanakan ibadah jum’at pada hari yang berbahagia ini. Semoga semua amal ibadah kita dapat diterima oleh Allah Yang Maha Kuasa dan dibalasi-Nya dengan pahala yang berlipat ganda.
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan Allah kepada Nabi Besar Muhammad Saw, yang telah berjuang menyampaikan risalah Islamiyah sebagai petunjuk dan pedoman hidup bagi seluruh umat manusia. Begitu juga untuk keluarga dan sahabat-sahabat beliau serta siapa saja yang mengikuti sunnahnya dengan penuh keimanan dan keikhlasan sampai Hari Akhir nanti.

Hadirin Jamaah jum’at yang berbahagia.

Beberapa hari yang lalu telah kita laksanakan bersama serangkaian ibadah selama 10 hari pertama bulan zulhijjah, termasuk di antaranya terdapat hari raya idul adha yang identik dengan dua ibadah mulia dalam Islam, yaitu ibadah haji dan qurban. Dua ibadah yang sangat identik dengan bulan zulhijjah dan juga ibadah yang berkenaan dengan harta benda.

Setiap musim sekalipun biaya haji relatif tinggi bagi ukuran rata-rata orang Indonesia. Tetapi yang dapat berangkat untuk menunaikan ibadah haji selalu banyak bahkan melalui proses antrian yang cukup panjang untuk sampai akhirnya berangkat menunaikan ibadah haji. Namun, menjadi renungan di antara kita, apakah saudara-saudara kita yang berangkat haji semuanya adalah tergolong sebagai orang kaya yang berpenghasilan tinggi? Dimana nilai sekian puluh juta bukanlah jumlah yang besar. 

Tentu untuk menjawabnya secara spesifik perlu dilakukan kajian dan penelitian. Namun secara sepintas dapat kita amati, di antara mereka terdapat orang yang tergolong secara ekonomi biasa saja, bahkan tidak sedikit di antara mereka yang tidak wajib secara syar’i untuk melaksanakan ibadah haji jika dipandang secara kemampuan ekonomi. Tetapi mereka memaksakan diri untuk berangkat beribadah haji. 

Ada yang rela menjual tanah warisannya untuk mendaftar haji padahal boleh jadi tanah itu merupakan satu-satunya sumber pencahariannya. Ada yang rela menjual tanah, menggadaikan barang berharganya, menabung sedikit demi sedikit, menyisihkan penghasilannya setiap bulan demi untuk memenuhi panggilan Allah mereka rela mengeluarkan biaya yang sangat besar. 

Sebaliknya sebagian orang merasa heran, mengapa ada pribadi-pribadi tertentu yang memiliki kemampuan bahkan lebih dari mampu atau malah memiliki harta yang berlimpah ruah, namun tak kunjung berangkat memenuhi panggilan Nabi Ibrahim. Apakah mereka merasa berat untuk mengeluarkan uang untuk melaksanakan rukun Islam ke-lima? Apakah mereka menganggap mengeluarkan harta untuk ke Mekah merupakan suatu hal yang tidak bermanfaat? Atau mereka menganggap bahwa mereka belum terpanggil untuk memenuhi panggilan haji? 

Perbedaan sikap, penilaian, dan pandangan sebagaimana pelaksanaan ibadah haji di atas sebenarnya terdapat pada ibadah-ibadah yang lain, kurban misalnya. Ada orang yang merasa tidak wajib melakukan ibadah kurban setiap tahun karena dirasa belum tergolong mampu. Sementara itu ada yang sejak awal tahun sudah menabung sedikit demi sedikit untuk bisa ikut berkurban sekalipun harta yang ia sisihkan merupakan jumlah yang besar namun ia sama sekali tidak sayang untuk mengeluarkannya.

Di dalam Islam memang tidak mewajibkan orang yang tidak mampu untuk melakukan ibadah haji, karena ibadah haji itu wajib liman istatha’a ilaihi sabila. Begitu juga kurban dan ibadah lain yang menyangkut harta benda. Namun yang menjadi persoalan adalah pribadi-pribadi yang tergolong mampu bahkan lebih dari mampu secara ekonomis tetap enggan untuk melaksanakan ibadah haji dan qurban. Dan sebaliknya mereka yang memiliki harta pas-pasan tetapi pada akhirnya bisa menunaikan ibadah tersebut. Mengapa demikian?

Tentu banyak faktor yang menjadi penyebab, namun yang akan kita soroti pada kesempatan ini adalah berkenaan dengan harta. Yaitu sikap, pandangan, dan orientasi seseorang terhadap harta benda. Jika untuk ibadah mahdhah saja seperti haji, qurban atau zakat ia enggan mengeluarkan hartanya kekayaannya, bagaimana dengan ibadah harta yang bersifat sosial, untuk fii sabilillah, membangun masjid, mendirikan sekolah, membangun rumah sakit, panti asuhan, membantu fuqara, masakin, dan kaum dhuafa? Menurut dugaan ia akan lebih keberatan lagi.

Hadirin jamah jum’at yang berbahagia. 

Sikap seseorang terhadap harta dalam hal kesediaan untuk membelanjakan sebagian hartanya untuk Islam dan umat Islam, untuk sesama manusia, untuk membantu kaum dhuafa sangat ditentukan oleh orientasi dan cara pandang seseorang tentang harta bagaimana memperoleh dan untuk apa dibelanjakan.

Untuk apa kita mencari harta? Apakah hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup? atau untuk tujuan lain yang lebih mulia dari itu. Bagi seorang muslim prinsip dasar tentang harta adalah bahwa semuanya adalah milik Allah. Segala apa yang ada di bumi ini, di langit dan bumi serta yang ada di antara keduanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَهٗ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ الثَّرٰى 

“Milik-Nyalah apa yang ada di langit, apa yang ada di bumi, apa yang ada di antara keduanya, dan apa yang ada di bawah tanah.” Ṭāhā [20]:6

Oleh karena itu kepemilikan Allah bersifat mutlak, sedangkan kepemilikan manusia hanya bersifat nisbi. Sesuatu yang bersifat nisbi terikat dengan yang bersifat mutlak, tidak bisa melampaui, tidak boleh melanggar, dan tidak boleh menyimpang. Sehingga setiap muslim pastilah selalu sadar bahwa dia harus memanfaatkan harta kekayaannya untuk jalan yang diridhai Allah sebagai pemilik sesuatu yang mutlak tersbut. Itulah rahasianya Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk selalu memulai segala sesuatu yang baik dengan membaca bismillahirrahmanirrahim. 

Pada hakikatnya, secara teologis kalimat basmalah mengandung dua makna. Pertama adalah pengakuan akan kekuasaan dan kepemilikan Allah atas segala sesuatunya. Kedua, minta izin kepada-Nya untuk memanfaatkan milik-Nya itu. Apabila kita mencari harta atas nama Allah tentu kita sadar sejak awal bahwa tidak mungkin Allah mengizinkan kita untuk mencari harta secara tidak halal dengan cara-cara yang tidak diridhai-Nya. Begitu juga dalam memanfaatkn harta itu, apabila kita manfaatkan dengan nama Allah tentu Allah pasti tidak mengizinkannya untuk kemaksiatan, untuk foya-foya, buat mendukung kemungkaran, untuk menghambat yang ma’ruf, sekalipun kita tidak izin kepada-Nya untuk melakukan semua itu. 

Hadirin yang berbahagia. 

Fungsi utama harta sejatinya adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam kehidupan seperti untuk makan, minum, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, kendaraan, rekreasi, dan lain lain. Tetapi lebih daripada itu bahwa harta merupakan sebuah alat untuk berbuat kebajikan, alat untuk berjihad fi sabilillah, alat untuk ber fastabiqul khairat. 

Allah menegaskan bahwa orang salah satu kriteria orang yang benar-benar beriman adalah yang bersedia menafkahkan hartanya untuk mencari ridha Allah. Dalam bahasa Al-Qur’an disebut mau berjihad dengan harta benda. Jihad artinya adalah memaksimalkan potensi yang dimiliki untuk menegakkan agama Allah. Kalau berjihad dengan harta artinya memanfaatkan harta secara maksimal untuk jalan Allah, bukan menyumbang ala kadarnya, tetapi semaksimalnya seperti Umar bin Khathab yang memberikan separuh hartanya, seperti Abdurrahman bin Auf yang dalam satu kesempatan menyumbang satu kafilah lengkap terdiri dari 700 ekor untuk dan berbagai macam perniagaan untuk memenuhi kebutuhan umat Islam. Marilah kita baca dan renungi firman Allah

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا وَجَاهَدُوْا بِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الصّٰدِقُوْنَ 

“Sesungguhnya orang-orang mukmin (yang sebenarnya) hanyalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang benar. Al-Ḥujurāt” [49]:15

Hadirin yang berbahagia. 

Disamping tujuan yang mulia mencari harta manusia kita juga tidak bisa menutup mata bahwa manusia memiliki beberapa kecenderungan yang tidak baik dalam masalah harta. Misalnya kecenderungan menumpuk harta walau tidak tau untuk apa tujuannya, kecenderungan untuk berfoya-foya menghabiskan harta untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, bahkan ada yang memiliki kecenderungan untuk berbuat kerusakan, kemaksiatan dan segala bentuk tindakan negatif lainnya dengan harta bendanya. Oleh sebab itu Islam memberikan peringatan kepada manusia berkenan dengan harta, antara lain. 

Pertama, Harta adalah Perhiasan

اَلْمَالُ وَالْبَنُوْنَ زِيْنَةُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۚ وَالْبٰقِيٰتُ الصّٰلِحٰتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَّخَيْرٌ اَمَلًا

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, sedangkan amal kebajikan yang abadi (pahalanya)448) adalah lebih baik balasannya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. Al-Kahf [18]:46

Kedua, Harta adalah Cobaan

اِنَّمَآ اَمْوَالُكُمْ وَاَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ  ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗٓ اَجْرٌ عَظِيْمٌ 

Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu). Di sisi Allahlah (ada) pahala yang besar. At-Tagābun [64]:15

Ketiga, Harta berpotensi melalaikan

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُلْهِكُمْ اَمْوَالُكُمْ وَلَآ اَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ ۚوَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْخٰسِرُوْنَ 

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta bendamu dan anak-anakmu membuatmu lalai dari mengingat Allah. Siapa yang berbuat demikian, mereka itulah orang-orang yang merugi. Al-Munāfiqūn [63]:9

Allah juga mengingatkan bahwa harta tidak mampu memberikan pertolongan apapun di akhirat nanti, 

اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَنْ تُغْنِيَ عَنْهُمْ اَمْوَالُهُمْ وَلَآ اَوْلَادُهُمْ مِّنَ اللّٰهِ شَيْـًٔا ۗوَاُولٰۤىِٕكَ هُمْ وَقُوْدُ النَّارِۗ

Sesungguhnya orang-orang yang kufur, tidak akan berguna bagi mereka sedikitpun harta benda dan anak-anak mereka (untuk menyelamatkan diri) dari (azab) Allah. Mereka itulah bahan bakar api neraka. Āli ‘Imrān [3]:10

Hadirin sidang ied yang berbahagia. 

Harta yang kita diperoleh didunia ini juga akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Rasulullah mengajarkan bahwa manusia di padang mahsyar nanti tidak akan bisa melangkahkan kakinya sebelum ditanya tentang 4 perkara, 

لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أربع : عن عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ

“Dua kaki seorang hamba tidak akan bergerak (pada hari kiamat) sehingga dia ditanya tentang umurnya, kemana dihabiskan, tentang ilmunya apakah yang telah dilakukan dengan ilmunya, tentang hartanya dari mana diperoleh dan kemana dibelanjakan dan tentang tubuh badannya untuk apa digunakannya.” (HR at-Tirmidzi)

Jika untuk umur, ilmu, dan jasad hanya dilemparkan satu pertanyaan tetapi untuk harta diajukan dua pertanyaan sekaligus, dari mana harta itu didapat dan untuk apa harta itu dipergunakan. Hal itu mengingatkan kepada setiap pemilik harta, bahwa sebanyak atau sesedikit apapun harta yang dimiliki harus dipertanggungjawabkan kelak dihadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. 

Kesadaran akan tanggung jawab setiap individu terhadap hartanya dihadapan Allah inilah yang akan melahirkan beberapa kesadaran lainnya, diantaranya adalah. 

Pertama, Kesadaran untuk mematuhi aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dalam mencari harta, baik dalam pertanian, perdagangan, pertambangan, pelayanan jasa, dan lain-lain. Baik dalam bentuk yang paling tradisional maupun yang ultra-modern, baik dalam skala kecil maupun skala besar.

Kedua, Kesadaran bahwa harta yang dimilikinya disamping untuk memenuhi kebutuhan hidupnya juga lebih dari itu adalah sebagai alat untuk berbuat kebajikan.

Ketiga, Kesadaran bahwa di dalam harta yang dia miliki terdapat hak orang lain. Baik yang bersifat ilzam, wajib ia bayarkan seperti zakat mal, zakat fitrah, infaq wajib, dan lain lain. Maupun yang tathawwu’ sebaiknya ia bayarkan seperti infak, sedekah, wakaf, dan lain lain terutama untuk membantu kaum lemah dan untuk fii sabilillah lainnya.

Keempat, Kesadaran untuk memanfaatkan hartanya dalam amar ma’ruf nahi munkar dan dakwah ilal khair dalam rangka merealisasikan ajaran islam sebagai rahmatan lil alamin. 

Hadirin sidang jum’at yang berbahagia. 

Marilah kita tempatkan harta dalam kehidupan kita pada posisinya yang proporsional. Bagi kita harta adalah alat bukan tujuan. Harta adalah alat untuk memenuhi kebutuhan hidup, alat untuk beribadah kepada Allah, alat untuk menolong sesama. Karena harta bukanlah tujuan, sehingga kita tidak boleh menghalalkan segala cara untuk memperolehnya. Kita harus mencari harta dengan halal, jujur, amanah dan cara yang ihsan. Jangan sekali-kali kita menipu, melakukan manipulasi, korupsi, apapun istilah kejahatan lain dalam memperoleh harta. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa memberikan berkah kepada kita dengan harta yang dikaruniakannya. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyelamatkan kita dunia dan akhirat. Aamiin Yaa Rabbal Alamin.

 

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

اللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمُسْلِمَاتِ وَالمُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ الاَحْيِاءِ مِنْهُمْ وَالاَمْوَاتِ اِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَاتِ فيَا قَاضِيَ الحَاجَاتِ

اَللهُمَّ اِنَّا نَسْئَلُكَ سَلاَمَةً فِى الدِّيْنِ وَعَافِيَةً فِى الْجَسَدِ وَزِيَادَةً فِى الْعِلْمِ وَبَرَكَةً فِى الرِّزْقِ وَتَوْبَةً قَبْلَ الْمَوْتِ وَرَحْمَةً عِنْدَ الْمَوْتِ وَمَغْفِرَةً بَعْدَ الْمَوْتِ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنتَ ٱلْوَهَّابُ

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

اللَّهُمَّ أَعِزَّالْإِسْلَامَا وَالْمُسلِمِين

وَجْمَعْ كَلِمَةَ الْمُسْلِمِينَ عَلَى الْحَقِّ يَا رَبَّ الْعَلَمِينَ

اَللَّهُمَّ أَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِنَا كَمَا أَلَّفْتَ بَيْنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنْصَارِ

اَللَّهُمَّ رَبَّنَا تَـقَـبَّلْ مِنَّا صَلاَتَنَا… وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ

 وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ, رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ  وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Leave A Reply

Your email address will not be published.