۞يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ ٱلۡيَهُودَ وَٱلنَّصَٰرَىٰٓ أَوۡلِيَآءَۘ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُۥ مِنۡهُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّٰلِمِينَ ٥١
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimipin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maaidah : 51).
Jama’ah Jum’at Yang Terhormat.
Ayat 51 dari surat al- Maaidah yang dikutip ini berkaitan dengan masalah kepemimpinan. Dalam pandangan Islam, masalah kepempinan merupakan hal yang sangat penting karena bukan hanya berkaitan dengan strategi perjuangan, tetapi juga berkaitan dengan masalah akidah dan keimanan. Dalam hadits diungkapkan bahwa prilaku pemimpin akan berpengaruh pada prilaku masyarakat. Masyarakat akan baik jika dipimpin oleh seorang pemimpin yang baik. Begitu pula sebaliknya, masyarakat akan kacau balau jika pemimpinnya seorang yang tidak baik. Pemimpin yang akan tampil memimpin suatu masyarakat merupakan cerminan dari keadaan masyarakat itu. Rasulullah SAW menyatakan : “Bagaimana kondisi kamu sekalian, maka disitulah kamu akan dipimpin oleh para pemimpin kamu sekalian.”
Karena pentingnya masalah kepemimpinan ini maka dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan tentang adanya sejumlah kelompok manusia yang tidak boleh dijadikan pemimpin oleh orang-orang beriman. Apalagi untuk hal-hal yang berkaitan dengan urusan agama. Sebab ini akan berakibat sangat fatal bagi keyakinan umat Islam itu sendiri. Di dalam Al-Qur’an Surat Al- Maaidah ayat 51 yang khatib bacakan dimuqadimah, secara tegas, Allah menyeru kepada orang-orang yang punya kesadaran akan keimanan, bahwa ada kelompok-kelompok tertentu yang tidak boleh dijadikan sebagai pemimpin atau wali, yang memegang urusan orang-orang beriman. Siapa mereka itu ?
Pertama, itulah orang -orang Yahudi dan orang-orang Nasrani, yang terang-terangan keyahudiannya atau terang-terangan kenasraniannya. Hal ini karena mereka, Yahudi dan Nasrani itu, saling mendukung, bahu membahu, dan tolong menolong dalam menghadapi orang-orang beriman. Boleh saja mereka berbeda sekte, berbeda aliran, berbeda pemahamannya, akan tetapi manakala mereka menghadapi orang-orang beriman, orang-orang muslim, sikap mereka sama. Mereka sepakat, satu jalan dan satu garis.
Bahkan, lebih tegas lagi, Allah menyatakan :وَمَنْ يَتَولَّهُم مِّنْكُمْ فَإِنَّهُ,مِنْهُمْ Barangsiapa menjadikan orang-orang Yahudi atau Nasrani sebagai pemimpin, sebagai wali, sebagai panutan, yang diserahi amanat memegang urusan mereka (kaum muslimin), maka mereka termasuk kedalam kelompok orang-orang Yahudi dan Nasrani itu. Jadi jelas bagi kita , bahwa masalah kepemimpinan ini berkaitan erat dengan masalah akidah. Bahkan dalam kitab Shafwatut Tafaasir diungkapkan bahwa “orang-orang kafir itu memiliki satu tangan atau satu kekuatan dalam menghadapi orang-orang muslim, karena mereka menyatu dalam kekafiran dan kesesatan. Dan sesungguhnya agama kekufuran itu adalah satu.” Jadi sekali lagi, bahwa kepemimpinan berkaitan dengan shibghah (corak, identitas) kaum muslimin. Salah satu identitas kaum muslimin, bahwa ia tidak akan menyerahkan kepemimpinan kecuali kepada orang-orang beriman.
Kedua, kelompok yang tidak boleh dijadikan pemimpin kaum muslimin adalah orang-orang yang jelas-jelas kekufurannya. Hal ini juga ditegaskan Allah SWT sebagaimana firman-Nya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ ٱلۡكَٰفِرِينَ أَوۡلِيَآءَ مِن دُونِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَۚ أَتُرِيدُونَ أَن تَجۡعَلُواْ لِلَّهِ عَلَيۡكُمۡ سُلۡطَٰنٗا مُّبِينًا ١٤٤
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu).” (QS An-Nisaa :144).
Pada ayat ini Allah menegaskan kepada orang-orang mukmin, bahwa janganlah ketidakpercayaan kalian pada diri kamu sekalian menyebabkan kamu menjadikan pemimpinmu dari kalangan orang-orang kafir dan mengabaikan orang-orang mukmin sendiri. Ujung ayat di atas menegaskan, bahwa tidak ada alasan apapun bagi orang mukmin yang sayang akidah dan keimananya untuk menjadikan orang kafir sebagai pemimpin. Hampir semua ayat yang berkaitan dengan masalah kepemimpinan ini dimulai dengan seruan “yaa ayyuhal Ladziina aamanuu”. Ini untuk menegaskan kaitan yang erat masalah kepemimpinan dengan keimanan dan akidah. Bukan semata-mata masalah kemasyarakatan atau masalah strategi.
Jama’ah Jum’at yang mulia.
Yang Ketiga, orang-orang yang memusuhi Allah dan memusuhi orang-orang yang beriman, dan membenci Islam serta ummat Islam. Allah menegaskan :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمۡ أَوۡلِيَآءَ تُلۡقُونَ إِلَيۡهِم بِٱلۡمَوَدَّةِ وَقَدۡ كَفَرُواْ بِمَا جَآءَكُم مِّنَ ٱلۡحَقِّ يُخۡرِجُونَ ٱلرَّسُولَ وَإِيَّاكُمۡ أَن تُؤۡمِنُواْ بِٱللَّهِ رَبِّكُمۡ …
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka ( berita-berita Muhammad) karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu.” (QS. Al-Mumtahanah (60):1).
Orang-orang yang membenci ummat Islam dan selalu menghalang-halangi ummat Islam dari melaksanakan ajaran agamanya, itulah musuh Allah dan juga musuh kaum muslimin. Maka jangan sekali-kali menjadikan sebagai pemimpin di antara kaum muslimin. Ketidakbolehan ini bukan semata-mata karena kekafiran mereka, tetapi karena perilaku mereka yang selalu menujukkan kebencian dan permusuhan kepada ummat Islam.
Kelompok yang keempat, yang tidak boleh dijadikan pemimpin adalah orang-orang yang suka mempermainkan agama. Mereka tidak pernah shalat, bahkan cenderung mempermainkan shalat. Mereka mempermainkan ayat-ayat Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an Surat al-Maaidah ayat 57-58 :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ ٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُواْ دِينَكُمۡ هُزُوٗا وَلَعِبٗا مِّنَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ مِن قَبۡلِكُمۡ وَٱلۡكُفَّارَ أَوۡلِيَآءَۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ ٥٧ وَإِذَا نَادَيۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ ٱتَّخَذُوهَا هُزُوٗا وَلَعِبٗاۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَوۡمٞ لَّا يَعۡقِلُونَ ٥٨
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul- betul orang-orang yang beriman.
Dan apabila kamu menyeru (mereka)u untuk mengerjakan shalat, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal.
Dari kalangan ini juga mungkin saja ada orang-orang yang mengaku muslim ber KTP Islam, tetapi mereka tidak melaksanakan shalat, atau menyepelekan shalat dan tidak punya sikap yang baik terhadap shalat. Mereka tidak boleh dijadikan pemimpin bagi kaum mukminin.
Kelima, orang-orang yang lebih mencintai kekufuran daripada keimanan. Mereka lebih senang kepada kekufuran, lebih senang kepada hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai syari’at Allah. Mereka lebih senangbergaul dan berteman dengan orang-orang kafir ketimbang bergaul, bersama-sama, dan bekerja sama denganorang-orang beriman. Mereka ini tidak mempunyai komitmen moral untuk berjuang menegakkan ajaran dan nilai-nilai Islam dalam kehidupannya. Allah SWT berfirman :
“Hai orang -orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu sebagai pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan siapa di antara yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
Katakanlah: Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At -Taubah (9) : 23-24).
Secara tegas dinyatakan dalam ayat tersebut, walaupun orang itu saudara, orang tua kita sendiri, atau juga teman dekat, jika keadaan mereka lebih mencintai dan cenderung kepada hal-hal yang berbau kekafiran, maka kita tidak boleh menjadikan mereka sebagai pemimpin. Ini menggambarkan bahwa masalah kepemimpinan bukan didasarkan pada faktor keturunan, kekerabatan, kedaerahan atau etnis tertentu, bahkan sekedar kedekatan pertemanan, melainkan semata-mata didasarkan faktor akidah dan keimanan. Hanya keteguhan iman dan kelurusan akidah serta keperpihakannya kepada Islam dan kaum muslimin yang dijadikan tolok ukur seseorang untuk dijadikan pemimpin.
بَارَكَ اللهُ لىِ وَلَكُم فِى القُرْ آنِ العَظِيمِ …….
Khutbah Kedua.
Selanjutnya, surat al-Maaidah ayat 51-53 yang kita bahas ini menegaskan bahwa sejarah menunjukan adanya kelompok orang-orang yang memperjuangkan agama ini bukan didasari oleh keyakinan. Mereka hanya didorong oleh hal-hal yang bersifat lahiriah. Misalnya, jika dia lihat jumlah yang berjuang banyak, dan dia yakin mereka akan mendapatkan kemenangan, maka dia pun ikut di dalamnya, ikut berjuang bersama kaum muslimin. Tetapi jika dilihatnya kelompok yang berjuang itu sedikit, merasa yakin akan menderita kekalahan atau kegagalan, maka ia pun keluar dari barisan kaum muslimin. Jadi semata-mata pertimbanganya factor jumlah dan hal-hal fisik semata. Ia tidak punya motivasi kuat dengan akidah yang mantap. Ini terjadi pada penyebaran Islam di Madinah. Ada kelompok-kelompok tertentu yang menilai sebuah kemenangan perjuangan hanya diukur dari hal-hal yang bersifat material. Tidak lebih dari itu. Dalam sejarah dicontohkan misalnya Abdullah bin Ubay bin Salul, tokoh munafik Madinah masa itu. Orang-orang semacam ini, dalam Surat al-Maaidah ayat 52 digambarkan sebagai orang yang “ada penyakit di dalam hatinya”. Dia tidak mempunyai kekuatan moral, keyakinan, dan kesungguhan dalam berjuang. Mereka ragu-ragu akan kekuasaan dan Kemaha Adilan Allah. Sehingga mereka keluar dari barisan kaum mukminin dan bergabung dengan orang-orang yang tidak beriman. Diungkapkan dalam ayat ini dengan kata-kata “yusaari’u” (bergesa-gesa). Mereka lari terbirit-birit melihat kecilnya kekuatan yang dimiliki ummat Islam. Mereka takut kekalahnya menimpanya. Bahkan mereka mengatakan: “Kami takut akan mendapat bencana”. Mereka kawatir, jika bergabung bersama ummat Islam, berjuang dibarisan kaum muslimin, mereka akan menderita. Padahal bagi orang-orang beriman, yang memiliki kekuatan mental dan keyakinan yang tangguh, masalah kecilnya jumlah dan minimnya sarana tidak menjadi soal. Berhasil atau tidak perjuangannya, mereka menyerahkan sepenuhnya pada kekuasaan Allah. Yang penting bagi mereka adalah berjuang disertai keyakinan akan pertolongan Allah. Jika perjuangan telah mereka lakukan, mujahadah telah mereka buktikan dengan mengerahkan segala upaya dan kemampuan , maka insya Allah kemenangan itu Allah yang menetukan. Sebaliknya kita pun jangan sombong bahwa dengan jumlah yang banyak dan kemampuan yang tinggi, kita pasti akan berhasil mencapai kemenangan. Karena kemenangan tidak terjadi hanya semata-mata ditentukan oleh jumlah. Kemenangan itu hanya Allah yang menentukan. Kita hanya bisa berusaha dan berjuang dengan disertai keyakinan akan pertolongan Allah.
Dalam al-Qur’an digambarkan, ketika terjadi perang Hunain pasukan ummat Islam sangat besar. Perang terjadi setelah futuh-Makkah (pembebasan kota Makah) itu diikuti sejumlah besar pasukan kaum muslimin, sehingga ada di antara kaum muslimin saat itu yang merasa yakin betul akan meraih kemenangan. Mereka berbangga-bangga dengan besarnya kekuatan. Dan ternyata kesombongan ini yang justru menyebabkan kekalahan kaum muslimin dalam perang tersebut. Allah mengungkapkan dalam surat at-Taubah (9) ayat 25-26 :
لَقَدۡ نَصَرَكُمُ ٱللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٖ وَيَوۡمَ حُنَيۡنٍ إِذۡ أَعۡجَبَتۡكُمۡ كَثۡرَتُكُمۡ فَلَمۡ تُغۡنِ عَنكُمۡ شَيۡٔٗا وَضَاقَتۡ عَلَيۡكُمُ ٱلۡأَرۡضُ بِمَا رَحُبَتۡ ثُمَّ وَلَّيۡتُم مُّدۡبِرِينَ ٢٥ ثُمَّ أَنزَلَ ٱللَّهُ سَكِينَتَهُۥ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ وَعَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ وَأَنزَلَ جُنُودٗا لَّمۡ تَرَوۡهَا وَعَذَّبَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْۚ وَذَٰلِكَ جَزَآءُ ٱلۡكَٰفِرِينَ ٢٦
“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) dimedan peperangan yang banyak, dan(ingatlah) peperangan Hunain , yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepada mu sedikit pun, dan bumi yang luas itu terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai berai.” Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang yang kafir, dan demikianlah pembalasan kepada orang-orang yang kafir.”
Di sini diingatkan oleh Allah, bahwa kita tidak boleh sombong dalam berjuang dan berdakwah. Jangan menepuk dada, membanggakan diri, membanggakan jasa; kita harus yakin bahwa kemenangan perjuangan itu hanya Allah yang menetukan. Kita hanya diperintahkan untuk berjuang sesuai dengan garis atau manhaj yang ditentukan oleh Allah, kemudian hasilnya kita serahkan kepada Allah SWT.