Oleh: Miqdam Awwali Hashri, S.E., M.Si, (LDK PP Muhammadiyah, Penasihat BikerMu Nasional, Penggagas Gowes untuk Zakat)
Di tengah hiruk pikuk kendaraan bermotor yang mendominasi ruas-ruas jalan perkotaan maupun perdesaan, sering terlupa bahwa jalan raya sejatinya adalah ruang publik yang harusnya menjadi milik bersama. Namun sayangnya, seringkali budaya berderma ruas jalan belum sepenuhnya tumbuh dalam kesadaran kolektif para pengguna jalan. Terlebih di kalangan pengendara kendaraan bermotor. Jalan yang semestinya menjadi ruang peradaban dan kebersamaan, sering kali berubah menjadi arena dominasi. Yang kuat menyingkirkan yang lemah, yang besar menaklukkan yang kecil.
Padahal, dalam tradisi luhur bangsa dan nilai-nilai agama, berderma bukan hanya soal harta. Berderma juga tentang memberi ruang, memberi jalan, dan memberi kesempatan menggunakan jalan yang lebih aman dan bermartabat bagi sesama. Ini adalah bentuk kedermawanan luhur yang paling nyata dalam keseharian, bahkan tanpa mengeluarkan dana. Di sinilah semestinya kesadaran berkendara dimaknai sebagai bagian dari dakwah keadaban dan filantropi sosial, terutama oleh komunitas-komunitas bermotor yang memiliki visi keagamaan dan sosial. Dan inilah salah satu peluang dakwah yang kemudian dapat direspon oleh dakwah komunitas sepeda motor Muhammadiyah, BikersMu.
Kedermawanan Tak Selalu Berbentuk Uang
Filantropi sering diartikan sebagai pemberian materi untuk membantu sesama. Namun dalam makna yang lebih luas, filantropi adalah praktik welas asih yang diwujudkan dalam tindakan nyata, termasuk memberi ruang kepada pengguna pesepeda untuk tetap aman di jalur pinggir. Memperlambat laju kendaraan saat melintasi pejalan kaki yang menyeberang. Memberi kesempatan pada pengayuh becak atau pendorong gerobak untuk menyelesaikan rutenya tanpa terdesak oleh klakson dan semburan asap knalpot.
Pengguna paling rentan di jalan raya adalah pesepeda, pejalan kaki, tukang sayur pendorong gerobak, tukang becak, anak-anak sekolah, lansia, dan lain-lain. Mereka seringkali terpinggirkan, bahkan dimarjinalkan. Mereka dianggap penghalang, dipandang sebagai “pengganggu arus”, dan tak jarang diperlakukan kasar. Padahal mereka adalah manusia, sesama warga negara, bahkan saudara seiman. Di sinilah nilai kedermawanan ruas jalan menjadi penting. Yang diberikan bukanlah uang, melainkan hak untuk aman, nyaman, selamat, dan hidup layak di ruang publik.
Jalan Raya sebagai Ladang Amal
Pengendara sepedamotor memiliki tanggung jawab sosial yang besar. Jumlah mereka mendominasi lalu lintas Indonesia. Setiap tindakan, setiap etika di jalan, memiliki efek domino terhadap keselamatan dan ketertiban. Bila satu komunitas motor memilih untuk berderma jalan dengan ramah, mengedepankan etika, dan membela yang lemah, maka itu akan menjadi contoh nyata bahwa berkendara bisa menjadi amal sosial dan bukan sekadar mobilitas pribadi.
Etika berkendara harus menjadi bagian dari kesalehan sosial. Di sinilah komunitas seperti BikersMu bisa menjadi pelopor. Berkendara bukan sekadar perjalanan dari satu tempat ke tempat lain. Ia adalah kesempatan untuk menebar maslahat. Setiap motor yang melaju dengan kesantunan adalah dakwah sunyi yang menggugah. Setiap pengendara yang memberi jalan bagi pejalan kaki adalah pendakwah yang lebih fasih daripada pengeras suara. Menebar salam, bukan menyaringkan klakson. Jalan raya bukan arena pertempuran ego, melainkan ruang untuk melatih kerendahan hati. Dan dari situlah nilai-nilai kedermawanan bisa dihidupkan dalam bentuk paling sederhana yaitu mengalah, menghindari arogansi, dan memberi ruang untuk yang tak berdaya.
Membela yang Lemah: Amanah Moral
Sebagaimana pesan-pesan tokoh agama yang menekankan pentingnya membela kaum tertindas, di jalan raya pun semangat ini perlu dihidupkan. Karena siapa lagi yang akan membela pengguna jalan yang terpinggirkan jika bukan mereka yang memiliki kuasa atas kendali dan kecepatan? Siapa lagi yang bisa memberikan ruang bagi pengguna lain jika bukan mereka yang mendominasi? Itulah peran strategis dari dakwah komunitas BikersMu. Dakwah dalam perpektif filantropis, bukan retoris.
Bukan hal baru jika pengendara sepeda menghadapi pelecehan verbal, diserempet, atau dipotong lajurnya oleh kendaraan bermotor. Pejalan kaki tak punya ruang aman, dipaksa turun dari trotoar oleh parkir liar, pedagang kaki lima, atau pengendara yang melaju di tempat yang bukan haknya. Tukang becak dan pengangkut gerobak hanya bisa pasrah saat disalip tanpa ampun oleh kendaraan yang jauh lebih besar, bahkan disertai dengan pekatnya asap knalpot.
Mereka semua bukan ‘pengganggu lalu lintas’. Mereka adalah bagian dari ekosistem kota yang sah. Mereka memiliki hak untuk dihormati. Mereka juga tidak mencemari udara. Maka, menjadi pembela mereka di jalan adalah bentuk keberpihakan sosial yang layak disebut sebagai ibadah jalanan, yang tak kasat mata tapi penuh nilai.
Ekologi, Polusi, dan Kesalehan Lingkungan
Komunitas pengendara motor juga menghadapi satu tantangan besar lainnya, yaitu kontribusi mereka terhadap polusi udara dan kebisingan. Oleh karena itu, nilai filantropi aspal tidak bisa dilepaskan dari kesadaran ekologis. Menjaga lingkungan adalah bentuk lain dari kedermawanan jangka panjang. Ini bukan semata urusan teknis mesin, tetapi urusan spiritual yang menyentuh masa depan bumi. Bahkan dapat dimaknai pula sebagai pertobatan polusi. Langkah-langkah seperti menanam pohon di jalur yang sering dilalui komunitas, menginisiasi aksi bersih jalan dan trotoar, atau menggelar kegiatan bersepeda bersama sebagai selingan touring, adalah simbol komitmen untuk menjaga bumi dari dampak buruk mobilitas modern.
BikersMu bisa menjadi role model bagi komunitas sepeda motor lain dalam mengambil peran besar ini. Tidak hanya memikirkan keamanan berkendara, tetapi juga keselamatan udara yang dihirup anak-anak dan generasi masa depan. Kegiatan seperti “Ride and Plant” atau “Touring Hijau” bisa menjadi contoh konkret bahwa dakwah tak harus lewat ceramah, tetapi bisa juga lewat tindakan nyata yang melindungi ciptaan Allah SWT.
Kepeloporan Etis dari Komunitas Sepeda Motor
Kekuatan komunitas sepeda motor tak hanya terletak pada jumlah anggotanya, melainkan juga pada kekuatan narasi yang dibangun. Ketika narasi berkendara berubah dari “gaya hidup” menjadi “etika hidup”, maka pengaruhnya akan sangat luas. Dan ketika komunitas sepeda bermotor mulai menyuarakan pentingnya berderma jalan, maka akan ada pergeseran paradigma di ruang publik.
Komunitas seperti BikersMu berpotensi menjadi agen perubahan besar dalam ekosistem lalu lintas Indonesia. Jiwa berderma sangat mengakar di lingkungan Muhammadiyah. Bahkan Muhammadiyah tumbuh besar karena memiliki budaya filantropi yang sangat kuat. Dengan basis nilai keagamaan dan sosial yang kuat inilah, komunitas ini mampu mentransformasikan sepeda motor bukan sebagai simbol kekuatan fisik, tapi sebagai alat kedermawanan, keberpihakan sosial dan spiritual.
Karena itu, saat anggota komunitas menyalakan sepeda motornya pada pagi hari, semestinya juga menyalakan kesadaran bahwa ia sedang membawa tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dan saat mesin dimatikan setelah perjalanan, semoga yang tertinggal bukan hanya jejak ban, tapi juga jejak kebaikan dan penghormatan kepada sesama pengguna jalan.
Menjadikan Jalan Sebagai Ruang Filantropi
Kini saatnya membangun peradaban jalan raya dengan semangat filantropi sosial. Sebuah filantropi yang tidak menunggu kaya harta untuk berderma, tetapi cukup dengan sikap sadar bahwa sesama pengguna jalan juga manusia, juga punya hak, juga butuh rasa aman. Mengemudi dengan santun, memberi ruang kepada pesepeda, menahan klakson kepada pendorong gerobak, dan tidak menyerobot trotoar, adalah amalan kecil yang dampaknya besar. Karena derma tak selalu terukur dari seberapa besar uang yang diberikan, tetapi dari seberapa tulus ruang yang disediakan untuk orang lain merasa aman dan dihormati. Jika kebaikan bisa dimulai dari jalan raya, maka keadaban bangsa ini akan jauh lebih cepat terwujud. Wallahua’lam