Polusi Udara: Dosa Kolektif Manusia Modern dan Krisis Spiritual yang Mengancam

Oleh: Miqdam Awwali Hashri, S.E., M.Si, LDK PP Muhammadiyah,
Mahasiswa Doktoral Pengkajian Islam Sekolah Pascasarjana, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Founder Komunitas Gowes untuk Zakat

Dalam pandangan filsuf Islam kontemporer Seyyed Hossein Nasr, krisis lingkungan yang melanda dunia saat ini bukan semata masalah ekologis, melainkan manifestasi dari krisis spiritual. Menurutnya, manusia modern telah kehilangan rasa sakral terhadap alam, memandangnya semata sebagai objek eksploitasi tanpa nilai spiritual. Pandangan ini mencerminkan realitas di kota-kota besar seperti Jakarta, di mana polusi udara menjadi peringatan nyata akan dosa kolektif manusia terhadap alam.

Kota besar seperti Jakarta, dengan populasi lebih dari 10,5 juta jiwa, menghadapi tantangan serius terkait kualitas udara. Data dari www.cleanairforhealth.org (per tanggal 20/05/2025) menunjukkan bahwa konsentrasi rata-rata tahunan PM2.5 di Jakarta mencapai 39 μg/m³, atau 7,8 kali lipat dari pedoman kualitas udara WHO yang merekomendasikan batas 5 μg/m³. Selama musim kemarau, terutama antara Mei hingga September, konsentrasi harian PM2.5 dapat mencapai 80 μg/m³, jauh melebihi ambang batas aman.

PM2.5 merupakan polutan berbahaya bagi manusia yang berukuran sangat kecil pada udara kotor. Partikel halus ini memiliki ukuran kurang dari 2,5 mikrometer yaitu sekitar 30 kali lebih kecil dari diameter rambut manusia, sehingga dapat menembus hingga ke dalam alveolus paru-paru dan bahkan masuk ke aliran darah. Setelah masuk ke dalam tubuh, PM2.5 memicu peradangan sistemik, menyumbat pembuluh darah, merusak jaringan paru-paru, dan meningkatkan risiko penyakit jantung koroner, stroke, kanker paru, serta penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).

Pernahkah disadari, bahwa udara yang telah tercemari setiap hari dengan kendaraan pribadi ternyata bukan hanya merusak langit dan pepohonan, tetapi juga secara perlahan membunuh manusia lain? Barangkali memang tidak disadari, asap yang dilepaskan hari ini bisa menjadi penyebab sesak napas anak kecil di ujung kota atau memicu serangan jantung pada seorang lansia yang tak dikenal. Apakah ini bukan bentuk kezaliman yang diam-diam dilakukan terhadap sesama? Polusi bukan lagi sekadar isu kesehatan atau lingkungan, ia adalah cermin kerapuhan moral kolektif kita sebagai masyarakat modern.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa tidak ada ambang batas aman untuk PM2.5, karena pada konsentrasi rendah pun, partikel ini tetap saja berdampak negatif terhadap kesehatan. Penelitian menunjukkan bahwa paparan jangka panjang terhadap PM2.5 dapat memperpendek usia harapan hidup manusia. Kondisi ini harus disadari karena menjadi ancaman kesehatan masyarakat yang nyata namun wujudnya tak kasat mata.

Seyyed Hossein Nasr juga menyoroti bahwa akar dari krisis lingkungan adalah krisis spiritual. Menurutnya, modernitas telah menghilangkan kesakralan alam sehingga menjadikannya  sekadar sumber daya ekonomi tanpa nilai spiritual. Desakralisasi ini menyebabkan manusia merasa berhak mengeksploitasi alam tanpa batas, mengabaikan konsekuensi ekologis dan spiritual dari tindakannya. Nasr mengajak umat manusia untuk “resakralisasi alam,” yaitu mengembalikan pandangan bahwa alam adalah manifestasi dari yang Ilahi. Dengan demikian, menjaga dan melestarikan alam bukan hanya kewajiban ekologis, tetapi juga tindakan spiritual yang mendalam.

Dalam konteks urban seperti Jakarta maupun kota besar lainnya, bersepeda dapat menjadi salah satu bentuk penebusan dosa polusi. Sebagai moda transportasi tanpa emisi, sepeda tidak hanya membantu mengurangi polusi udara, tetapi juga mendorong gaya hidup yang lebih sehat dan berkelanjutan. Meskipun bersepeda menyebabkan keringat dan bau badan, hal ini dapat diatasi dengan mandi dan penggunaan deodoran. Sebaliknya, dampak polusi udara dari kendaraan bermotor jauh lebih serius dan sulit diatasi, termasuk risiko penyakit pernapasan dan kardiovaskular, serta kematian dini akibat PM2.5.

Lebih dari itu, bersepeda dapat menjadi simbol komitmen spiritual untuk hidup selaras dengan alam. Dengan memilih bersepeda sebagai alat transportasi aktivitas rutin, individu menunjukkan kesadaran akan tanggung jawabnya terhadap lingkungan dan upaya untuk memperbaiki hubungan dengan alam.

Menghadapi krisis lingkungan memerlukan perubahan paradigma, dari eksploitasi menuju konservasi, dari dominasi menuju harmoni. Hal ini bukan hanya tugas individu, tetapi juga tanggung jawab kolektif masyarakat dan pemerintah. Kebijakan yang mendukung transportasi ramah lingkungan, seperti pembangunan jalur sepeda yang aman dan kampanye kesadaran publik, sangat penting. Pegiat sepeda harus diberi ruang yang seluas-luasnya, karena aktivitas mereka merupakan bentuk dari aktivitas spritual yang hak-haknya harus dilindungi. Perubahan sejati hanya akan terjadi ketika masyarakat menginternalisasi nilai-nilai spiritual yang menghargai alam sebagai entitas yang sakral dan layak dihormati.

Krisis lingkungan yang dihadapi saat ini bukan sekadar masalah teknis atau akademis, melainkan juga cerminan dari krisis spiritual yang mendalam. Dengan mengakui dan menebus dosa-dosa polusi melalui tindakan nyata seperti bersepeda, kita tidak hanya memperbaiki kualitas udara, tetapi juga memperbaiki hubungan kita dengan alam dan, pada akhirnya, dengan diri kita sendiri.  Pertobatan ekologis masyarakat urban harus segera dilakukan dalam rangka menyucikan kembali paradigma terhadap alam sebagai langkah awal menuju pemulihan spiritual dan ekologis yang sejati.

Get in Touch

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Related Articles

Latest Posts