Oleh: Miqdam Awwali Hashri, S.E., M.Si, Lembaga Dakwah Komunitas PP Muhammadiyah
Mahasiswa Doktoral Pengkajian Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Saat ini umat manusia semakin dihadapkan pada dilema antara kebutuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Perusakan hutan, pencemaran air, penambangan liar, dan eksploitasi sumber daya alam (SDA) secara berlebihan menjadi cermin dari kewalahan manusia dalam mengelola bumi secara bijaksana. Dampak kerusakan lingkungan pada akhirnya juga dirasakan sendiri oleh manusia, seperti banjir, tanah longsor, dan polusi udara. Salah satu penyebab mendasar dari persoalan ini adalah paradigma manusia yang masih cenderung antroposentris— dengan menempatkan manusia sebagai pusat segalanya, sementara alam diposisikan semata sebagai objek eksploitasi. Bahkan Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa arogansi manusia menyebabkan alam menjadi rusak.
Paradigma antroposentris ini kemudian melahirkan budaya materialistik dan konsumtif. Keberhasilan diukur dari seberapa besar sumber daya dapat dimanfaatkan demi kepentingan manusia. Akibatnya, banyak aktivitas ekonomi dilakukan tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan.
Dengan kondisi seperti ini, sudah saatnya manusia beralih kepada paradigma teosentris. Paradigma ini mengacu pada Tuhan menjadi pusat orientasi kehidupan, dan alam tidak lagi dianggap sebagai objek semata, melainkan sebagai mitra yang memberikan timbal balik kepada mausia. Dalam ajaran Islam, manusia diposisikan sebagai khalifah fil ardh—wakil Tuhan di bumi. Manusia dan alam memiliki posisi yang setara, yaitu sama-sama makhluk ciptaan Tuhan. Manusia mendapatkan amanah untuk mengelola lingkungan. Amanah ini mengharuskan manusia untuk menjaga keseimbangan dan keberlanjutan ciptaan-Nya.
Zakat: Perspektif Teologis sekaligus Ekologis
Dalam Islam, zakat adalah salah satu rukun Islam yang bersifat wajib. Zakat juga merupakan inspirasi dalam filantropi. Ia bukan sekadar transaksi keuangan, tetapi merupakan instrumen teologis yang mewakili tanggung jawab spiritual dan sosial. Karena sifatnya yang wajib, zakat harus ditunaikan oleh setiap Muslim yang mampu. Bukan sekedar selera, suka atau tidak suka. Hal ini menunjukkan bahwa zakat bisa menjadi instrumen strategis yang menggerakkan sumber daya ekonomi umat ke arah tujuan sosial, termasuk ekologis. Perlu diingat bahwa pada masa klasik, pungutan zakat berbasis sumberdaya alam dan lingkungan seperti pertanian, peternakan, dan logam (emas & perak). Dengan demikian, zakat tidak bisa lepas dari isu lingkungan berkelanjutan. Maka muncul pertanyaan sejauh mana organisasi pengelola zakat sebagai representasi lembaga filantropi Islam sudah berperan signifikan dalam menjaga kelestarian dan keberlanjutan lingkungan?
Pilar Pembangunan Berkelanjutan dan Posisi Lingkungan
Dalam teori ekonomi pembangunan berkelanjutan, dikenal adanya trilogi pembangunan, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Ketiga pilar ini harus dijaga secara seimbang agar pembangunan tidak merusak keberlanjutan hidup. Sayangnya, dalam praktik filantropi Islam di Indonesia masih dominan memperbincangkan isu ekonomi dan sosial dibandingkan aspek lingkungan secara eksplisit. Aktivitas program lembaga filantropi untuk isu lingkungan masih dominan bersifat kuratif seperti tanggap bencana atau penyediaan air bersih. Belum secara holistik dengan program-program yang bersifat preventif dan solutif.
Hal ini mencerminkan cara pandang masyarakat yang masih melihat kemiskinan dari perspektif ekonomi semata—seperti penghasilan rendah atau pengangguran. Padahal, lingkungan juga menyediakan mata pencaharian, seperti pertanian, perkebunan, perikanan, dan kehutanan. Kerusakan lingkungan dapat mengancam kehidupan ekonomi masyarakat yang menggantungkan mata pencahariannya pada sumberdaya alam.
Posisi Isu Lingkungan pada Lembaga Filantropi Islam
Isu lingkungan berkelanjutan masih belum dominan diperbincangkan dalam konteks lembaga filantropi Islam. Hal ini terlihat dari fokus program dari lembaga filantropi Islam seperti BAZNAS mencakup lima aspek utama, yaitu: dakwah, pendidikan, kesehatan, kemanusiaan, dan ekonomi. Belum ada satu aspek pun yang secara eksplisit menyebutkan terminologi lingkungan. Padahal, beberapa program seperti sedekah sampah, balai ternak, lumbung pangan, dan program kebencanaan memiliki dimensi ekologis yang sangat kuat. Sayangnya, program-program ini masih sering diposisikan dalam perspektif ekonomi atau kemanusiaan, bukan sebagai upaya pelestarian lingkungan secara eksplisit.
Lembaga filantropi Islam lainnya, LAZISMU yang telah memiliki program Pilar Lingkungan. Namun per tanggal 22/04/2025, Pilar Lingkungan menduduki peringat terendah untuk penghimpunan yang hanya sebesar Rp 6.413.459 dengan 71 donatur. Sedangkan pilar lain seperti Pilar Kemanusiaan, Pilar Sosial Dakwah, Pilar Ekonomi, Pilar Pendidikan, dan Pilar Kesehatan, masing-masing tidak kurang dari Rp 9 juta.
Lebih jauh lagi, banyak masyarakat juga masih terpaku pada persepsi sempit bahwa filantropi Islam hanya relevan untuk mengatasi kemiskinan ekonomi. Padahal, konflik sosial juga bisa dipicu oleh masalah lingkungan—seperti sengketa tanah, akses air bersih, atau bencana akibat degradasi lingkungan. BRIN (2019) mencatat bahwa polusi udara menjadi penyebab utama lima penyakit serius: stroke, penyakit jantung iskemik, diabetes melitus, penyakit paru obstruktif kronis, dan gangguan neonatal. Penyakit-penyakit ini dapat menurunkan produktivitas dan meningkatkan beban biaya kesehatan sehingga berdampak pada aspek ekonomi. Padahal dengan kondisi lingkungan yang lebih baik, maka kualitas hidup meningkat dan aktivitas ekonomi menjadi lebih stabil.
Integrasi Perspektif Islam dan Ekologi: Gagasan Teologis
Dalam mengintegrasikan dimensi teologis dan ekologis, kita dapat merujuk pada pemikiran Seyyed Hossein Nasr, seorang filsuf Islam kontemporer yang menekankan pentingnya spiritualitas dalam ekologi. Menurut Nasr, krisis lingkungan adalah cerminan dari krisis spiritual umat manusia. Alam bukan hanya ciptaan fisik, melainkan entitas yang memiliki makna sakral. Oleh karena itu, hubungan manusia dengan alam tidak boleh transaksional dan eksploitatif, tetapi harus sakral dan bertanggung jawab.
Dengan perspektif ini, zakat bukan sekadar alat redistribusi kekayaan, tetapi juga instrumen spiritual untuk membangun harmoni antara manusia dan alam. Paradigma teosentris inilah yang dapat menjembatani krisis lingkungan dengan solusi teologis berbasis Islam melalui Filantropi Islam, khususnya spirit zakat.
Dakwah Komunitas Menuju Zakat Lingkungan Berkelanjutan
Dakwah Komunitas memiliki potensi dalam mendukung lembaga filantropi Islam. Pertama, membentuk komunitas fokus pada isu-isu lingkungan berbasis dakwah keagamaan seperti forum dakwah tematik di masjid, pesantren, dan komunitas Muslim yang membahas isu lingkungan dari perspektif Islam. Kegiatan ini dapat berupa kajian rutin, khutbah tematik, atau pelatihan berbasis ayat-ayat kauniyah. Tujuannya adalah membangun kesadaran bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari ibadah, dan zakat dapat menjadi sarana untuk mendanai program-program pelestarian lingkungan.
Kedua, program pemberdayaan mustahik ramah lingkungan. Penyaluran zakat, infak, dan sedekah, dapat dialokasikan kepada program yang memberdayakan mustahik melalui aktivitas berwawasan lingkungan, seperti pertanian organik, pengelolaan sampah berbasis komunitas, dan energi terbarukan skala rumah tangga. Pendekatan ini sekaligus membangun narasi bahwa mustahik bukan hanya penerima manfaat, tetapi juga pelaku perubahan dalam menjaga alam.
Ketiga, Kampanye Zakat untuk Bumi. Gerakan “Zakat untuk Bumi”berbasis kolaborasi komunitas dalam bentuk gerakan kolaboratif antara lembaga zakat, tokoh agama lokal, komunitas pecinta lingkungan, dan sekolah Islam untuk menggalang dana zakat maupun infak dan sedekah yang ditujukan pada proyek pelestarian lingkungan—misalnya penghijauan, sanitasi, dan konservasi air. Gerakan ini menggabungkan aksi nyata dan kampanye dakwah yang mengedukasi publik tentang hubungan antara ibadah zakat dan tanggung jawab ekologis.
Refleksi di Hari Bumi: Momentum Kolektif untuk Aksi
Tanggal 22 April diperingati sebagai Hari Bumi, menjadi pengingat bahwa bumi bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga amanah dari Allah SWT. Momentum ini menjadi penting untuk menegaskan kembali bahwa pelestarian lingkungan adalah bagian dari ibadah. Zakat yang ditunaikan tidak hanya menyucikan jiwa, tetapi juga bisa menyucikan bumi dari kerusakan.
Sudah waktunya masyarakat dan lembaga filantropi Islam memperluas cakrawala berpikirnya. Isu lingkungan bukan hanya milik aktivis hijau atau lembaga donor internasional. Isu lingkungan adalah bagian dari iman dan tanggung jawab manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi. Dengan mengintegrasikan filantropi Islam dalam agenda pelestarian lingkungan, manusia tidak hanya menciptakan keseimbangan baru, tetapi juga menapaki jalan menuju peradaban yang lebih mulia dan berkelanjutan.
