Dakwah di Perbatasan, Kepulauan Sangihe Menyapa dengan Cinta dan Keteladanan

LDKMUH.OR.ID, Kepulauan Sangihe — Di tanah perbatasan yang berbatasan langsung dengan Filipina, geliat dakwah terus tumbuh dengan wajah yang unik dan bersahaja. Kabupaten Kepulauan Sangihe, yang mayoritas penduduknya beragama Kristen, kini menjadi saksi hadirnya pendekatan dakwah yang menekankan nilai keramahan, persaudaraan, dan kearifan lokal.

Pendekatan ini diperkuat oleh kehadiran dai muda dari Lembaga Dakwah Komunitas (LDK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Hanif Syairafi Wiratama, yang mengemban misi pembinaan umat di ujung utara Indonesia tersebut.

Berbeda dengan kota besar yang kaya fasilitas dakwah, di Sangihe seorang dai bukan sekadar penceramah. Ia menjelma menjadi kakak bagi pemuda, guru bagi anak-anak, konselor bagi keluarga, hingga sahabat diskusi lintas iman.

Dakwah Lewat Kehadiran dan Kepedulian

Dalam keseharian masyarakat Sangihe, dakwah tidak hadir melalui mimbar besar atau pengeras suara. Ia tumbuh melalui percakapan sederhana di teras rumah, pendampingan remaja masjid, pengajaran Al-Qur’an di ruang tamu kecil, serta kegiatan sosial yang menyentuh langsung kehidupan umat.

Sebagai kelompok minoritas, umat Islam di Sangihe hidup di tengah lingkungan yang mayoritas non-Muslim. Namun kondisi itu bukan menjadi hambatan, melainkan peluang untuk menghadirkan

Nada Dakwah yang Menyatu dengan Kearifan Lokal

Islam datang ke Nusantara dengan wajah damai—dan di Sangihe, prinsip itu tetap dijaga dengan penuh kesadaran. Hanif berusaha meneladani jejak dakwah para pendahulu: menghormati adat, menghidupkan gotong royong, serta menjunjung tinggi penghormatan kepada orang tua.

Dalam konteks masyarakat yang plural, dakwah di Sangihe tidak hadir dengan nada menggurui, tetapi melalui keteladanan dan dialog yang menumbuhkan saling percaya. Ia tidak memaksa keyakinan, melainkan menumbuhkan kedekatan.

Bagi Hanif, dakwah bukan sekadar seruan dari mimbar, tetapi seni merawat harmoni di tengah keberagaman. Pendekatan ini terasa relevan di daerah yang tingkat kerukunan antarumat beragamanya tergolong tinggi. Para dai hadir bukan sebagai pihak yang merasa paling benar, tetapi sebagai saudara yang ingin berjalan bersama dalam semangat kemanusiaan dan persaudaraan lintas iman.

Suara dari Masyarakat: “Kami Sangat Bersyukur Ada Mereka”

Bagi warga Muslim di Sangihe, kehadiran dai dari LDK PP Muhammadiyah menjadi anugerah yang menghadirkan semangat baru dalam kehidupan beragama.

Tokoh masyarakat setempat, Nasrun Lauma, mengungkapkan rasa syukurnya atas kehadiran Ustaz Hanif dan para dai muda lainnya.

“Sebelum ada Ustaz Hanif, kami belajar agama hanya dari cerita orang tua. Sekarang anak-anak bisa mengaji, jamaah masjid semakin banyak, dan suasana keislaman terasa lebih hidup. Kami sangat bersyukur, apalagi beliau tidak pernah menyalahkan perbedaan pandangan,” ujarnya.

Nasrun menambahkan, pendekatan yang dilakukan para dai justru mempererat persaudaraan antarwarga di tengah perbedaan keyakinan.

“Mereka tidak menjaga jarak dengan tetangga non-Muslim. Malah sering membantu dan berbaur dalam kegiatan kampung. Itu yang membuat kami merasa dekat,” katanya.

Kesaksian warga seperti ini menggambarkan bahwa dakwah tidak selalu harus bising di panggung besar. Kadang, perubahan paling berarti justru tumbuh dari kehadiran yang tulus—dari mereka yang datang bukan hanya untuk berdakwah, tetapi juga untuk mendengarkan dan melayani.

Tantangan di Ujung Utara: Menjaga Islam Tetap Berdenyut

Meski geliat dakwah di Kabupaten Kepulauan Sangihe terus tumbuh, perjalanan ini tentu tidak tanpa ujian. Jarak antar kampung yang berjauhan, keterbatasan transportasi laut, jaringan internet yang belum stabil, hingga fasilitas ibadah yang sederhana menjadi tantangan sehari-hari bagi para dai di ujung utara Indonesia itu.

Lebih dari itu, sebagian masyarakat masih memandang Islam sebagai “agama pendatang”. Dalam situasi seperti itu, pendekatan yang keras justru bisa menimbulkan jarak. Karena itulah, para dai memilih jalan keteladanan—menghadirkan Islam bukan dengan banyak kata, tetapi lewat sikap, kesabaran, dan kehadiran yang penuh kasih.

Di situlah nilai dakwah Sangihe menemukan maknanya. Di tengah keterbatasan dan perbedaan, Islam tumbuh pelan namun pasti, tanpa paksaan, dengan napas cinta dan ketulusan.

Lembaga Dakwah Komunitas (LDK) PP Muhammadiyah berharap kehadiran para dai di Sangihe bukan sekadar program singkat, melainkan investasi dakwah jangka panjang bagi masa depan umat di wilayah perbatasan.

Dari Sangihe, tersampaikan satu pesan penting bagi umat Islam di seluruh negeri: bahwa kekuatan dakwah bukan terletak pada seberapa keras suara disuarakan, tetapi seberapa dalam ia dirasakan.

Sangihe mungkin jauh di ujung peta, namun getar dakwahnya mengalun hingga ke relung nurani bangsa. Bahwa dakwah sejati bukan sekadar kemampuan berpidato, melainkan ketulusan untuk hadir, mendengar, dan berbagi rasa.

Bahwa dakwah bukan hanya tentang memenuhi masjid, tetapi mengisi jiwa-jiwa yang lama merasa sendiri. Dan bahwa Islam akan selalu diterima, selama ia datang dengan wajah damai dan bahasa kasih.

Dari tanah perbatasan, Sangihe memperlihatkan wajah dakwah yang paling murni— yang tidak membenturkan, tetapi merangkul; yang tidak memaksa, tetapi mengajak; yang tidak meninggikan diri, tetapi menundukkan hati. Inilah dakwah yang tumbuh dari cinta dan keteladanan, menguatkan iman, mempererat persaudaraan, dan merawat kerukunan di tengah keberagaman yang menjadi rahmat bagi negeri.

Kontributor: Fikri

Get in Touch

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Related Articles

Latest Posts